Wayang adalah

wayang……………………?

Wayang adalah pedalangan dan drama tradisional Indonesia, yang sudah digemari oleh rakyat Indonesia sejak zaman prasejarah sampai sekarang. Wayang yang berasal dari kata bayang, mulai pada zaman purbakala sebagai upacara memanggil arwah dengan memasang lampu minyak kelapa dan menayangkan bayangan pada dinding atau kain putih yang dibentangkan. Wayang kemudian berkembang sejak abad ke-9 dan ke-IO sebagai media untuk pementasan lakon-lakon yang diciptakan bertemakan sastra epos Ramayana dan Mahabharata, dan kemudian sejak abad-abad pertengahan diciptakan pula lakon-lakon bertemakan agama Islam. Jenis-jenis wayang berkembang pesat dari zaman ke zaman, sehingga pada saat ini, terdapat lebih dari 60 jenis wayang, tersebar di seluruh Indonesia.
Beberapa jenis wayang berupa boneka 2 dimensi, terbuat dari kulit, dioperasikan oleh dalang di depan layar kain diterangi oleh lampu, dapat ditonton dari depan atau dari belakang layar, misalnya Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta. Beberapa jenis wayang terdiri dari boneka-boneka tiga dimensi terbuat dari kayu, misalnya Wayang Golek Sunda. Adapun wayang
yang peran-perannya dimainkan oleh manusia, misalnya Wayang Orang, bahkan ada yang menggunakan gambar pada gulungan kain (Wayang Beber) atau yang tidak memakai alat bantu sama sekali, tetapi hanya suara dan gerak tubuh manusia (Wayang Jemblung Banyumas).
Wayang istiwewa sebagai bentuk kesenian karena memiliki sifat-sifat yang dalam bahasa Jawa disebut adiluhung dan edipeni, yaitu sangat agung dan luhur, dan juga sangat indah (etika dan estetika). Para sarjana dunia telah menyebutkan wayang sebagai bentuk drama yang paling canggih di dunia. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntunan, dan merupakan gabungan lima jenis seni; yakni.
1. Seni Widya (filsafat dan pendidikan)
2. Seni Drama (pentas dan musik karawitan)
3. Seni Gatra (pahat dan seni lukis)
4. Seni Ripta (sangit dan sastra)
5. Seni Cipta (konsepsi dan ciptaan-ciptaan baru)

SENA WANGI adalah organisasi nasional yang giat khususnya di bidang wayang, didirikan pada 12 Agustus 1975, berdomisili di Jakarta, ibukota Republik Indonesia. Organisasi ini tidak mempunyai cabang. Tugas organisasi adalah mengkoordinasikan berbagai kegiatan demi pelestarian dan pengembangan wayang dan seni pedalangan di Indonesia. Keanggotaan SENA WANGI terdiri dari berbagai organisasi wayang dan pedalangan, lembaga-lembaga pendidikan wayang, seniman, budayawan dan tokoh-tokoh masyarakat. SENA WANGI adalah organisasi swadaya masyarakat nirlaba yang berusaha mengembangkan wayang hingga menjadi salah satu pilar budaya bangsa. Dana diperoleh dari rekan-rekan, perusahaan, instansi-instansi pemerintah, yayasan-yayasan, lembaga-lembaga dan tokoh masyarakat, baik di Indonesia maupun dari luar negeri.
Program Kerja SENA WANGI, antara lain, terdiri dari :
Riset dan pengembangan wayang, baik yang klasik maupun ciptaan baru, termasuk inventarisasi, dokumentasi dan informasi tentang wayang.
Pendidikan, latihan dan seminar tentang wayang.
Pengembangan organisasi, lembaga dan pusat latihan untuk wayang
Pengembangan sumber daya manusia di dunia pewayangan, termasuk seniman, ahli dan pecinta wayang.
Menjalin hubungan luar negeri yang luas dengan organisasi, lembaga, pakar, budayawan dan tokoh-tokoh dari mancanegara.
Pengurus SENA WANGI terdiri dari Dewan Pengurus Harian, didukung oleh Dewan Sesepuh dan Dewan Kebijakanaan.

Dewan Pengurus Harian :
Ketua Umum – Solichin
Ketua I – Ekotjipto
Ketua II – Prof. DR Gunawan Sumodiningrat
Sekretaris-Jenderal – Soedarko Prawiroyudo
Wakil Sekjen – R. Sarosa Sosrodiprojo
Wakil Sekjen II – Barnas Somantri
Wakil Sekjen III – Yatto HS
Bendahara Umum – YB Widodo Sutoyo
Bendahara – Djayeng Soedarsono
Bidang Penelitian dan Pengembangan :
Ketua – M. Sulebar Soekarman
Anggota – DR Budya Pradipta, I Wayan Diya
Bidang Organisasi Wayang :
Ketua – Singgih Wibisosno
Anggota – Tjetjep Suprijadi, Agus Listiyanto
Bidang Hubungan Masyarakat :
Ketua – Mas’ud Thoyib
Anggota – Retno Dewati HP, Bram Kusharjanto
Bidang Hubungan Internasional :
Ketua – HY Susmanto
Anggota – RM Sadono
Bidang Umum :
Ketua – Roesman S, Hadikusumo
Anggota – Eko Soepardjo Roestam, Kondang Sutrisno
Alamat Kantor :
Gedung Pewayangan Kautaman, Jalan Raya Pintu I TMII, Jakarta Timur 13810, INDONESIA Tel. (62-21)87799388 Fax, (62-21) 87799387

Menyadari sepenuhnya bahwa seni pedalangan dan wayang adalah salah satu bentuk seni budaya Inddonesia yang memiliki peranan penting dalam pembentukan Kebudayaan Nasional, karena selain mempunyai latar belakang sejarah yang panjang, nilai seni yang tinggi juga mengandung nilai-nilai luhur yangsangat mendukung pembangunan moral bangsa.

Dalang menempati posisi sentral dalam pergelaran wayang. Seni pedalangan dan wayang bisa hadir secara utuh dan menarik melalui pergelaran yang dilakukan oleh dalang yang dibantu oleh para seniman pendukungnya serta apresiasi dari khalayak pemirsa.

Sebagai wadah untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan peran para dalang, pengrawit dan swarawati serta seni pedalangannya sendiri, maka pada tanggal 14 April 1971 dibentuk organisasi Persatuan Pedalangan Indonesia aatau PEPADI . Sebagai organisasi profesi PEPADI memiliki 24 Komisariat Daerah Propinsi di Indonesia mencakup berbagai jenis wayang di Indonesia.

Pada setiap 5 tahun sekali PEPADI mengadakan Musyawarah Nasional (MUNAS) untuk menetapkan pengurus baru, program kerja 5 tahun dan penyempurnaan AD/ART. MUNAS IV baru saja diadakan di Surakarta padaa tanggaal 25-27 April 2003. Menangkap butir-butir dari Ketetapan dan aspirasi yang muncul dalam MUNAS IV dapat disimpulkan :

PEPADI sebagai organisasi pedalangan meneguhkan perlunya landasan etika seniman dlang berupa kode etik dalang yang disebut sebagai PANCADARMA Dalang untuk dihayati dan diamalkan:

Pancadarma

Dalang Indonesia adalah warga negara Indonesia yang taqwa kepada Tuhan yang Maha esa dan senantiasa taat setia kepada Pancasila dan UUD 1945

Dalang Indonesia adalah seniman yang berbudi luhur dan berusaha meningkatkan pengetahuan, kreativitas dan kemampuan kesenimanannya

Dalang Indonesia bertekad mewujudkan karya seni pedalangan yang adiluhung sesuai dengan kiadah-kaidah pedalangan yang ada serta tanggap terhadap perkembangan dan kemajuan jaman.

Dalang Indonesia adalah seniman yang mengutamakan karya seni pedalangannya, yang mampu mengangkat harkat dan martabat manusia

Dalang Indonesia adalah seniman yang melestarikan, mengembangkan dan mengagumkan seni pedalangan sebagai unsur Kebudayaan nasional sesuai dengan kepribadian bangsa.
Posisi

Pepadi adalah organisasi profesi yang independen beranggotakan para dalang, pengrawit, swarawati dan perorangan yang memenuhi syarat tertentu. Disebut organisasi profesi karena PEPADI mewadahi kegiatan seni pedalangan yang merupakan keahlian berkesenian khusus, sebagai sarana pengabdian dan peningkatan kualitas hidup para seniman pedalangan. Disebut independen karena PEPADI merupakan organisasi dari sei pedalangan dan seniman pedalangan yang merupakan milik dari dan mengabdikan diri kepada semua golongaan, aliran dan seluruh strata masyarakat Indonesia.

Visi

Seni pedalangan sebagai salah satu pilar budaya bangsa, sehingga seni pedalangan dapat menjadi wacana dan wahana budaya untuk mempertinggi harkat dan martabat bangsa
Seni pedalangan memiliki spektrum nilai kebatinan yang terdiri dari etika (moral) dan estetika (rasa keindahan ) yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Etika bersifat universal dan nyaris bersifat abadi, sedangkan estetika berkembang mengikuti perkembangan selera rasa seni masyarakat. Estetika inilah yang mendorong kreativitas dalam seni pedalangan pedalangan sehingga melahirkan wujud pergelaran klasik, semi klasik dan kontemporer. PEPADI mewadahi semua gaya pakeliran tersebut sepanjang tidak meninggalkan unsur Etika.
Dalang sebagai titik sentral dalam seni pedalangan adalah pelaku seni dan sebagai guru dalam masyarakat. Oleh karena itu seorang dalang mendapat sebutan Ki atau Kyai (Nyi bagi dalang wanita) artinya dalang memiliki kelas sebagai orang berilmu dan mampu memancarkan ilmu luhurnya sekaligus keindahan dan keceriaan bagi masyarakat.
Misi

Memanfaatkan seni pedalangan sebagai sarana pendidikan masyarakat untuk meningkatkan ketaqwaan dan budi pekerti luhur (akhlaqul karimah)
Meningkatkan kualitas dan kaderisasi SDM (dalang, pengrawit dan swarawati) agar tumbuh dan berkembang sebagai tenaga profesi yang handal.
Meningkatkan mutu seni pedalangan agar selalu tanggap menghadapi tantangan jaman
Meningkatkan apresiasi masyarakat, utamanya generasi muda terhadap seni pedalangan

Konsolidasi Organisasi : dilaksanakan secara terus menerus mencakup konsolidasi wawasan dan organisasi terutama efektivitas kerja Kepengurusan dari berbagai tingkatan di dalam merancang dan melaksanakan program kerja.
Pergelaran Wayang : menyelenggarakan dan mendorong berbagai macam kegiatan pergelaran wayang meliputi berbagai gaya pergelaran termasuk pergelaran dengan kemasan padat, wayang berbahasa Indonesia, wayang dalam layar kaca dan kreasi-kreasi wayang masa depan.

Diklat Wayang :menyelenggarakan pendidikan dan latihan untuk seniman pedalangan dan memberi bantuan kepada sanggar-sanggar seni pedalangan yang ada serta media – media diklat lainnya.

Kesejahteraan Anggota : berusaha membantu peningkatan kesejahteraan anggota melalui berbagai kegiatan seperti pembentukan koperasi, menggunakan jasa perusahaan asuransi dan sebagainya.

Sistem Kemitraan : PEPADI memperluas jangkauan dalam pelaksanaan program dengan menerapkan sistem kemitraan bersama Pemerintah (pusat dan daerah), swasta/usahawan dan pihak lain pecinta seni pedalangan yang mampu dan peduli.

Komunikasi : Menjalin komunikasi yang cepat dan peningkatan frekwensi arus informasi melalui telepon, faximili, e-mail dan SMS dengan Komisariat Daerah.

‘Pengurus PEPADI terdiri dari Dewan Pusat dan Dewan Komisaris Daerah Propinsi. Pengurus Pusat terdiri dari Dewan Pengurus Pusat PEPADI dan Dewan Penasihat

Dewan Pengurus Pusat PEPADI :
Ketua Umum – Ekotjipto SH
Ketua I – Ki. H. Anom Suroto
Ketua II – Roesman S. Hadikusumo
Sekretaris Jenderal – Y. Soedarko Prawiroyudho
Sekretaris I – Yatto HS,SH
Sekretaris II – Kondang Sutrisno, SE
Bendahara I – H. Bambang Djumeneng
Bendahara II – Imira Dewi, SE. MM.
Bidang Pergelaran :

Slamet Sugiatno
Raagil susanto
Irwan Riyadi, S.Sn
Bidang Pendidikan & Latihan :
Drs. Suryandoro
Sumari,S.Sn
Bidang Kesejahteraan :
Hartiyoso
H. Rustamadji
Dewan Penasehat :

Ketua – Drs. H. Solichin
Wakil Ketua – DR. Gunawan Sumodiningrat
Wakil Ketua – Drs. Soenarjo M.Si
Wakil Ketua – Ki H. Manteb Soedarsono
Anggota :

DR. Sri Hastanto
Ir. Haryono Haryoguritno
Drs. Singgih Wibisono
H. Bambang Murtiyoso, S.Kar.M. Hum
Sunarto Timur
Ki Panut Darmoko
I Nyoman Sumandi, MA
Ki Timbul Hadiprayitno
Ki Sulaiman
Ki sugito Purbotjarito
Mas”ud Thoyib
B. Subono, S.Kar, M.Sn
Nyi. Supadmi S.Sn
Ki Lalu Nasib
Ki Tjetjep Supriyadi
Ki Surya Bonang
Alamat Kantor :
Gedung Pewayangan Kautaman, Jalan Raya Pintu I TMII, Jakarta Timur 13810, INDONESIA Tel. (62-21)87799388 Fax, (62-21) 87799387

Dewan-dewan Komisariat Daerah PEPADI Propinsi telah didirikan di Propinsi-propinsi berikut :
1. DI Aceh, 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat, 4. Jambi, 5. Bengkulu, 6. Riau, 7. Sumatera Selatan, 8. Lampung, 9. DKI Jakarta, 10. Jawa Barat, 11. DI Yogyakarta, 12. Jawa Tengah, 13, Jawa Timur, 14. Bali, 15. Kalimantan Barat, 16. Kalimantan Timur, 17. Kalimantan Selatan, 18. Kalimantan Tengah, 19. Sulawesi Tengah, 20. Sulawesi Tenggara, 21. Sulawesi Selatan, 22. Nusa Tenggara Barat, 23. Irian Jaya/ Papua.
ANGGARAN DASAR
PERSATUAN PEDALANGAN INDONESIA
( PEPADI )

MUKADIMAH

Bahwa atas kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, Kesenian merupakan kebutuhan hidup manusia, dimanapun dan pada kesempatan apa pun manusia memerlukan kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur pokok yang berperanserta di dalam pembinaan bangsa dan negara Indonesia.

Bahwa kesenian adalah ungkapan cipta, rasa dan karsa manusia yang menghasilkan suatu karya yang indah dan dapat dinikmati orang lain dan diri sendiri, karena kesenian merupakan salah satu pernyataan budaya manusia.

Bahwa kesenian Indonesia pada hakekatnya men-cerminkan kepribadian kehidupan budaya bagsa dan sangat berperan didalam memperkuat kepribadian, ketahanan nasional dan wawasan nusantara, oleh karena itu perlu digali, dilestarikan, dibina dan dikembangkan.

Bahwa seni pedalangan yang merupakan salah satu aspek kesenian, mencakup bidang seni rupa, sastra, drama, karawitan dan tari, adalah merupakan warisan luhur bangsa Indonesia, yang bernilai simbolis, mistis, magis, filosofis, religius dan pedagogis sehingga berkemampuan membentuk watak & jiwa bangsa berdasarkan Pancasila. Dalam upaya memelihara kelestarian, meningkatkan daya guna mempertinggi mutu dan mengembangkan seni pedalangan, serta untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya perlu digalang persatuan dan kesatuan secara teratur dan terarah di dalam satu wadah organisasi.

Dengan menyadari bahwa pembinaan dan pengembangan seni pedalangan Indonesia merupakan salah satu sarana memperkuat kepribadian bangsa, kebanggaan nasional dan kesatuan nasional, maka organisasi-organisasi pedalangan Indonesia pada musyawarah pedalangan di Yogyakarta tanggal 14 dan 15 April 1971, dengan kesadaran, ketulusan dan keikhlasan sepenuhnya, telah membentuk suatu Organisasi Seni Pedalangan, selanjutnya berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional PEPADI di Yogyakarta tanggal 31 Juli 1975 mengubah organisasi pedalangan yang bersifat kedaerahan menjadi organisasi dengaan lingkup nasional. Pada Musyawarah Nasional III PEPADI tanggall 19 – 22 Juli 1996 di Jakarta diadakan penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan Terakhir berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional IV PEPADI tahun 2003 tanggal 25 – 27 April 2003 di Surakarta juga diadakan penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB I
U M U M

Pasal 1
Nama dan Tempat Kedudukan

Organisasi seni pedalangan ini bernama PERSATUAN PEDALANGAN INDONESIA yang disingkat PEPADI
PEPADI bertempat kedudukan:
Untuk Tingkat Pusat, di Ibukota Republik Indonesia;
Untuk Tingkat Propinsi, di Ibukota Propinsi, dan
Untuk Tingkat Kabupaten/Kota, di Ibukota Kabupaten/Kota.
Pasal 2
Waktu

PEPADI didirikan pada tanggal 14 April 1971 untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, berdasarkan Keputusan Musyawarah Pedalangan se Jawa dan Madura di Yogyakarta tanggal 14 dan 15 April 1971 dengan Surya Sengkala: “DALANG NGUMANDANG ARUMING BUDAYA”.

Pasal 3
Asas dan Dasar

PEPADI berdasarkan Pancasila dan berdasarkan Undang Undang Dasar 1945.

Pasal 4
Maksud dan Tujuan

PEPADI dimaksudkan sebagai wadah untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta pengabdian profesi seniman pedalangan.
PEPADI bertujuan :
Menggali, melestarikan, membina, dan mengembangkan seni pedalangan dalam arti seluas-luasnya;
Meningkatkan apresiasi seni pedalangan sebagai sarana pembinaan watak dan budi pekerti luhur;
Meningkatkan kualitas seniman serta seni pedalanan dan
Meningkatkan kesejahteraan anggota.
Pasal 5
Program Kerja

PEPADI dalam mencapai tujuannya membuat program kerja 5 (lima) tahunan dan 1 (satu) tahunan meliputi :

Bidang Pergelaran;
Bidang Pendidikan dan Pelatihan,dan
Bidang Kesejahteraan Anggota;
BAB II
KEANGGOTAAN

Pasal 6
Anggota

Anggota biasa ialah :
Dalang;
Pengrawit;
Suarawati;
Peroranan yang dalam kapasitas tertentu dapat menjadi anggota.
Anggota luar biasa ialah perorangan yang diangkat oleh PEPADI karena jasa- jasanya terhadap seni pedalangan.
Pasal 7
Syarat menjadi anggota

Untuk menjadi anggota PEPADI harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah tangga PEPADI.

Pasal 8
Kewajiban anggota

Setiap anggota PEPADI wajib :

Menjaga, memelihara dan menjunjung tinggi nama baik organisasi;
Mentaati dan melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan PEPADI, dan
Mentaati serta melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang diatur dalam AnggaranRumah Tangga dan atau Keputusan Organisasi.
Pasal 9
Hak-hak anggota

Anggota biasa memiliki :
Hak bicara
Hak suara
Hak memilih, dan
Hak dipilih.
Anggota luar biasa memiliki hak bicara,
Setiap anggota memiliki hak mendapatkan perlindungan.
Pasal 10
Pemberhentian anggota

Keanggotaan PEPADI berhenti karena :

Meninggal dunia;
Mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
Organisasinya bubar, dan
Diberhentikan karena merugikan organisasi, melanggar Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, ataupun peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh PEPADI.
BAB III
ORGANISASI

Pasal 11
Bentuk

PEPADI adalah organisasi profesi yang independen.

Pasal 12
Tingkat dan wilayah kerja

Organisasi PEPADI disusun secara bertingkat, sesuai dengan pembagian administrasi pemerintahan sebagai berikut :

Tingkat Nasional dibentuk dan diberi nama PEPADI Pusat yang mempunyaai wilayah kerja seluruh Indonesia;
Tingkat Propinsi dibentuk dan diberi nama Komisariat Daerah PEPADI Propinsi yang mempunyai wilayah kerja se-Propinsi, dan
Tingkat Kabupaten/Kota dibentuk dan diberi nama Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota yang mempunyai wilayah kerja se Kabupaten/Kota.
Pasal 13
Pimpinan

PEPADI Pusat dipimpin oleh Pengurus PEPADI Pusat yang ketuanya dipilih dan disahkan oleh Musyawarah Nasional PEPADI, dan
Masa bakti Pengurus PEPADI Pusat adalah 5 (lima) tahun.

Komisariat daerah PEPADI Propinsi dipimpin oleh Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Propinsi yang dipilih oleh Musyawarah Komisariat Daerah PEPADI Propinsi dan disahkan oleh Pengurus PEPADI Pusat, dan
Masa bakti Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Propinsi adalah 4 (empat) tahun.

Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota dipimpin oleh Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota yang dipilih oleh Musyawarah Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota yang disahkan oleh Komisariat Daerah PEPADI Propinsi, dan
Masa bakti Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota adalah 3 (tiga) tahun.
Pasal 14
Tugas dan tanggungjawab

Pengurus PEPADI bertugas menjalankan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan Program Kerja.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini:
Pengurus PEPADI Pusat bertanggungjawab kepada Musyawarah Nasional PEPADI;
Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Propinsi bertanggungjawab kepada Musyawarah Komisariat Daerah PEPADI Propinsi, dan
Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada Musyawarah Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota.
Pasal 15
Dewan Penasehat

Pengurus PEPADI Pusat membentuk Dewan Penasehat PEPADI Pusat.
Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Propinsi membentuk Dewan Penasehat PEPADI Propinsi.
Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota membentuk Dewan Penasehat PEPADI Kabupaten/Kota.
Tugas Dewan Penasehat PEPADI memberikaan nasehat baik diminta maupun tidak diminta kepada Pengurus PEPADI sesuai tingkatannya.
Anggota Dewan Penasehat PEPADI terdiri dari tokoh-tokoh pemerintah, swasta, pecinta dan pemerhati yang telah berjasa di bidang seni pedalangan.
Pimpinan Dewan Penasehat PEPADI disahkan oleh Pimpinan PEPADI yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya.
BAB IV
MUSYAWARAH
DAN
RAPAT PIMPINAN PEPADI

Pasal 6
Musyawarah Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota

Musyawarah Nasional PEPADI merupakan kekuasaan tertinggi PEPADI.
Musyawarah Nasional PEPADI diselenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun yang dihadiri oleh:
Pengurus PEPADI Pusat, dan
Utusan Komisariat Daerah PEPADI Propinsi.
Musyawarah Komisariat Daerah PEPADI Propinsi diselenggarakan sekurang kurangnya 1 (satu) kali dalam
Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Propinsi, dan
Utusan Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota.
Musyawarah Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota diselenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun yang dihadiri oleh :
Pengurus Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota, dan
Utusan anggota PEPADI Kabupaten/Kota.
Musyawarah Nasional, Musyawarah Komisariat Daerah PEPADI Propinsi dan Musyawarah Komisariat Daerah PEPADI Kabupaten/Kota dapat dihadiri oleh anggota Dewan Penasehat masing-masing sebagai peninjau.
Pasal 17
Rapat Pimpinan PEPADI

Rapat Pimpinan PEPADI adalah rapat yang diselenggarakan dalam keadaan mendesak oleh Pengurus PEPADI baik di Pusat atau Propinsi maupun Kabupaten/Kota dalam rangka penyempurnaan Pengurus PEPADI.

BAB V
LAMBANG DAN LAGU

Pasal 18
Lambang

PEPADI memiliki Lambang yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga

Pasal 19
Lagu

PEPADI memiliki Lagu yang diatur dalam Angaran Rumah Tangga.

BAB VI
KEUANGAN & INVENTARIS

Pasal 20
Keuangan

Keuangan PEPADI diperoleh dari:

Sumbangan dari Anggota;
Sumbangan dan bantuan yang tidak mengikat dari pihak lain
Hasil pendapatan dari kegiatan-kegiatan yang sah, dan
Usaha-usaha lain yang sah.
Pasal 21
Inventaris

Inventaris PEPADI diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB VII
ANGGARAN RUMAH TANGGA

Pasal 22
Anggaran Rumah Tangga

Anggaran Rumah Tangga PEPADI disusun oleh Pengurus PEPADI.
Anggaran Rumah Tangga PEPADI dan peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar PEPADI.
BAB VIII
PENUTUP

Pasal 23
Perubahan Anggaran Dasar

Perubahan Anggaran Dasar PEPADI ditetaapkan dan diatur oleh Musyawarah Nasional PEPADI, atas usul sekurang-kurangnya 2/3 (duapertiga) jumlah Komisariat Daerah PEPADI Propinsi.

Pasal 24
Pembubaran

Pembubaran PEPADI dilakukan oleh Musyawarah Nasional PEPADI yang diadakan khusus untuk itu.
Setelah PEPADI dibubarkan, maka kekayaan bersih yang dimilikinya disalurkan selaras dengan azas dan tujuan PEPADI oleh Tim likuidasi yang dibentuk oleh Musyawarah Nasional PEPADI.
Pasal 25
Lain-lain

Hal –hal yang belum jelas dan/atau belum cukup diatur dalam Anggaran Dasar ini, diatur dalam Anggaran Rumah Tangga PEPADI dan atau peraturan organisasi.

Pasal 26
Penutup

Penyempurnaan Anggaran Dasar ini disahkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) IV PEPADI tahun 2003 tanggal 27 April 2003 di Surakarta.

ANGGARAN RUMAH TANGGA
PERSATUAN PEDALANGAN INDONESIA
(PEPADI)

BAB I
UMUM

Pasal 1
Nama

Organisasi seni pedalangan ini bernama PERSATUAN PEDALANGAN INDONESIA disingkat PEPADI dengan huruf besar.
Nama tersebut menekankan pemupukan persatuan dan kasatuan dikalangan Dalang, Pengrawit, Suarawati dan perorangan yang dalam kapasitas tertentu dapat menjadi anggota dan mereka yang berjasa terhadap seni pedalangan.
Pasal 2
Azas dan Dasar

PEPADI dalam melaksanakan visi, misi dan tugas pokoknya senantiasa berazaskan Pancasila sebagai landasan ideal dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan operasional.

Pasal 3
Visi dan Misi

Visi PEPADI adalah:
Seni pedalangan sebagai salah satu pilar budaya bangsa, sehingga seni pedalangan dapat menjadi wacana dan wahana budaya untuk mempertinggi harkat dan martabat bangsa.
Seni pedalangan memiliki spektrum nilai kebatinan yang terdiri dari etika (moral) dan estetika (rasa keindahan) yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Etika (moral) bersifat universal dan nyaris bersifat abadi, sedangkan Estetika berkembang mengikuti perkembangan selera rasa seni masyarakat, Estetika inilah yang mendorong kreativitas dalam seni pedalangan sehingga melahirkan wujud pergelaran klasik, semi klasik dan kontemporer. PEPADI mewadahi semua gaya pakeliran tersebut sepanjang tidak Meninggalkan unsur etika (moral), dan
Dalang adalah pelaku seni dan sebagai guru dalam masyarakat. Oleh karena itu seorang dalang mendapat sebutan Ki atau Kyai (Nyi bagi dalang wanita) artinya dalang memiliki kelas sebagai orang berilmu dan mampu memancarkan ilmu luhurnya sekaligus keindahan dan keceriaan bagi masyarakat.
Misi PEPADI adalah :
Memanfaatkan seni pedalangan sebagai sarana pendidikan masyarakat untuk meningkatkan ketaqwaan daan budi pekerti luhur;
Meningkatkan kualitas dan kaderisasi Sumber Daya Manusia (dalang, pengrawit, dan suarawati) agar tumbuh dan berkembang sebagai tenaa profesi yang handal;
Meningkatkan mutu seni pedalangan agar selalu tanggap menghadapi tantangan jaman, dan
Meningkatkan apresiasi masyarakat, utamanya generasi muda terhadap seni pedalangan.
Pasal 4
Tata Krama Dalang Indonesia

Khusus seniman dalang dalam melaksanakan profesinya berpegang pada Tata Krama atau Kode Etik yang disebut “Pancadarma dalang Indonesia” yaitu :

Dalang Indonesia adalah warga negara Indonesia yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta senantiasa taat dan setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
Dalang Indonesia adalah seniman yang berbudi luhur dan senantiasa berusaha meningkatkan pengetahuan, kreativitas dan kemampuan kesenimanannya;
Dalang Indonesia bertekad mewujudkan karya seni pedalangan yang adiluhung sesuai dengan kaidah-kaidah pedalangan yang ada serta tanggap terhadap perkembangan dan kemajuan jaman;
Dalang Indonesia adalah seniman yang mengutamakan karya seni pedalangannya, yang mampu mengangkat harkat dan martabat manusia,dan
Dalang Indonesia adalah seniman yang melestarikan, mengembangkan dan mengagungkan seni pedalangan sebagai unsur kebudayaan nasional sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pasal 5
Tujuan

Dengan mengingat pasal 4 Anggaran Dasar, PEPADI bertujuan pula agar seniman pedalangan akan mendapatkan manfaat dari berorganisasi dan mampu meningkatkan kualitas seni pedalangan.

Pasal 6
Kegiatan

Dalam melaksanakan program dan kegiatan organisasi, PEPADI mengembangkan hubungan kerja kemitraan.

BAB II
KEANGGOTAAN

Pasal 7
Anggota

Untuk menjadi anggota PEPADI, Seniman Pedalangan harus mendaftarkan diri ke Pengurus Komda PEPADI Kabupaten/Kota. Dalam hal Pengurus Komda kabupaten/Kota belum terbentuk, dapat melali Pengurus Komda Propinsi atau Pengurus Komda terdekat.
Anggota PEPADI ditetapkan oleh Komda PEPADI Kabupaten/Kota, disahkan oleh PEPADI Pusat atas usul Komda PEPADI Propinsi.
Tanda Anggota dikeluarkan oleh PEPADI Pusat.
Pasal 8
Syarat-syarat menjadi Anggota

Untuk menjadi anggota PEPADI, seniman pedalangan perlu menyatakn diri ingin menjadi Anggota PEPADI,dengan memberikan pas photo dan data pribadi yang benar.
Bagi calon anggota yang telah memenuhi syarat dan diterima sebagai anggota, diberikan tanda anggota.
Pasal 9
Hak Anggota

Dengan mengingat pasal 9 Anggaran Dasar, maka setiaap anggota PEPADI berhak memiliki tanda anggota PEPADI.

Pasal 10
Kewajiban Anggota

Dengan mengingat pasal 8 dan pasal 9 Anggaran Dasar, anggota PEPADI diwajibkan membawa tanda Anggota pada saat melakukan tugas (pergelaran).

Pasal 11
Sangsi

Pengurus PEPADI sesuai dengan tingkat dan tanggungjawabnya dapat menjatuhkan sangsi terhadap anggota yang bertindak bertentangan dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, peraturan-peraturan dan Keputusan PEPADI dengan tindakan-tindakan sebagai berikut :
Peringatan lisan
Peringatan tertulis sampai dengan 3 (tiga) kali,dan
Pemberhentian sebagai anggota.
Dalam hal pemberhentian anggota, harus mendapat pengesahan dari PEPADI Pusat setelah diusulkan oleh Komda PEPADI Propinsi.
Pengurus Komda PEPADI Kabupaten/Kota dapat merehabilitir anggota yang terkena sangsi tersebut ayat (1) pasal ini setelah mendapat pengesahan dari PEPADI Pusat atas usul/saran dari Komda PEPADI Propinsi.
Pasal 12
Pemberhentian Anggota

Anggota PEPADI dapat berhenti karena mengundurkan diri, dengan cara mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Pengurus Komda Kabupaten/Kota
mengingat ayat (1) pasal ini, Pengurus PEPADI Pusat mengesahkan pemberhentian keanggotaan PEPADI, atas usul/saran dari Komisariat Daerah PEPADI Propinsi.
BAB III
ORGANISASI

Pasal 13
Status

Menunjuk pasal 11 Anggaran Dasar,PEPADI merupakan Organisasi profesi yang independen yang mengkhususkan diri dibidang seni pedalangan dan merupakan milik seluruh masyarakat Indonesia.

Pasal 14
Pengurus

Menunjuk pasal 12 dan pasal 13 Anggaran Dasar PEPADI, Susunan Pengurus PEPADI diserahkan kepada Munas atau Musda sesuai tingkatannya.

Pasal 15
Tugas dan Tanggungjawab

Uraian tugas Pengurus dibuat oleh Pengurus PEPADI sesuai dengan tingkatannya.

BAB IV
MUSYAWARAH DAN RAPAT PENGURUS

Pasal 16
Musyawarah

Musyawarah Nasional PEPADI saah apabila dihadiri oleh lebih dari 1/2 (setengah) jumlah Komisariat daerah PEPADI Propinsi dan ½ (setengah) jumlah Anggota Pengurus PEPADI Pusat.
Keputusan-keputusan dalam Musyawarah Nasional PEPADI selalu diambil atas dasar musyawarah dan atau pemungutan suara.
Apabila keputusan dalam musyawarah Nasional PEPADI terpaksa diambil melalui pemungutan suara, maka :
Dianggap sah jika disetujui oleh lebih ½ (setengah) dari jumlah suara Peserta yang hadir, dan
Khusus pada Musyawarah Nasional PEPADI yang diselenggarakan untuk pembubaran PEPADI, keputusan dianggap sah apabila disetujui sekurang-kurangnya 3/4 (tigaperempat) jumlah suara peserta yang hadir dan dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tigaperempat) jumlah Komisariat Daerah PEPADI Propinsi.
(4) Ketentuan tersebut dalam ayat (1), (2) dan (3) huruf a pasal ini berlaku secara mutatis mutandis untuk Musyawarah Daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Pasal 17
Rapat Pengurus

Rapat Pengurus PEPADI sah apabila dihadiri oleh lebih ½ (setengah) dari jumlah Pengurus PEPADI.
Keputusan-keputusan dalam rapat Pengurus PEPADI selalu diambil atas dasar musyawarah.
Apabila keputusan dalam rapat Pengurus PEPADI terpaksa diambil melalui pemungutan suara, maka dianggap sah jika disetujui oleh lebih 1/2 setengah dari jumlah suara peserta yang hadir.
Apabila dipandang perlu Ketua Umum dapat menentukan kebijaksanaan demi kepentingan organisasi.
BAB V
LAMBANG

Pasal 18
Bentuk, Isi dan Warna

Lambang PEPADI berbentuk kayon atau gunungan dengan posisi condong kekanan dengan tulisan PEPADI. Image kayon bukaan kayon klasik tetapi kayon kolong (berlubang ditengah). Kayon digambarkan sebagai wayang seutuhnya dengan gapit (pegangan dibagian bawah). Ornamen dalam kayon berupa burung garuda bersayap 5 dikiri dan kanan (simetris). Ditengah tertera tulisan PEPADI berbentuk huruf-huruf Romaawi klasik dengan huruf A yang menyatu dengan kayon.
Warna lambang.
Warna kayon adalah coklat tanah, tulisan PEPADI berwarna hitam dan huruf A satu warna dengan kayon.
Pasal 19
Arti dan Makna

Kayon atau gunungan sudah menjaadi simbol dari seni pewayangan di Indonesia. Semua jenis wayang di Indonesia menggunakan kayon atau Gunungan. Kayon sendiri mempunyai nilai filosofi yang tinggi. Image Kayon kolong tidak menggambarkan sesuatu yang klasik tetapi merupakan sesuatu yang dinamis sesuai dengan perkembangan, artinya seni pedalangan merupakan seni yang dinamis dengan bentangan mulai pedalangan klasik, semi klasik sampai dengan yang kontemporer. Kayon digambarkan secara utuh dengan gaapitnyaa dengan posisi condong kekanan melambangkan sesuatu yang bergerak seirama dengan uraian diatas, bahwa PEPADI merupakan organisasi yang dinamis mengikuti perkembangan masyarakat, mewadahi seni pedalangan secara utuh mulai dari yang klasik sampai dengan yang kontemporer namun tetap berperang pada etika atau moral pedalangan karena dalang adalah guru masyarakat.
Tulisan PEPADI terdiri dari huruf Romawi klasik yang huruf A nya menyatu dengan kayon, menggambarkan seni pedalangan memiliki kerangka batin yang merupakan paduan antara etika (moral) dan estetika (keindahan). Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam seni pedalangan, Etika (moral) adalah suatu yang mendasar dan harus di pegang teguh dari waktu kewaktu dan bersifat universal, sedangkan estetika berkembang sesuai dengan perkembangan rasa keindahan masyarakat dari waktu kewaktu dan berbeda dari daerah satu dan daerah lain.
Ornamen dalam kayon berupa burung garuda. Burung garuda adalah jenis binatang yang memiliki visi yang luas karena dia mampu melihat dari angkasa, sebagai suatu simbol bahwa PEPADI memiliki visi yang luas dan jangkauan jauh kedepan.
Burung garuda bersayap lima disebelah kiri dan kanan melambangkan Panca Darma (Kode Etik) Dalang disebelah kiri dan Panca Sila sebagai Dasar Negara Indonesia di sebelah kanan. Keduanya harus dihayati dan diamalkan oleh seniman pedalangan.
Warna coklat tanah pada kayon merupakan warna yang luwes, indah dan berkesan damai. Warna hitam merupakan gambaran bahwa ilmu dan filosofi yang terkandung dalam jagad pedalangan sangat mantab.
Pasal 20
Cap

Cap PEPADI ditentukan seperti terlampir dengan nama Komisariat Daerah yang bersangkutan.

Pasal 21
Lagu

Lagu PEPADI diatur dan ditetapkan oleh Pengurus PEPADI Pusat.

BAB VI
MEKANISME PELAPORAN

Pasal 22
Laporan

Setiap Komda wajib menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan program kerja sesuai tingkatannya.
Setiap laporan mengandung materi yang dapat dinilai.
Pasal 23
Waktu Pelaporan

Laporan diberikan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun 1 (satu) kali.

BAB VII
KAKAYAAN

Pasal 24
Sumbangan Anggota

Perlu adanya kesadara dari anggota PEPADI untuk memberikan sumbangan baik finansiil maupun materiil secara gotongroyong bagi kelancaran jalannya organisasi serta perwujudan kegiatannya.
Besarnya sumbangan sukarela dari anggota berdasarkan kerelaan.
Pasal 25
Penggunaan Kekayaan

Kekayaan PEPADI, baik yang berupa finansiil maupun materiil digunakan untuk kelancaran organisasi daan terutama kegiatan-kegiaatan operasional yang berguna bagi masyarakat pedalangan.

BAB VIII
PENUTUP

Pasal 26
Lain-lain

Segala sesuatu yang belum cukup diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini, akan diatur dalam keputusaan-keputusan Pengurus PEPADI sejauh tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga PEPADI.

Pasal 27
Penutup

Jenis
Ngelmu iku, kalakone kanthi laku.
lekase lawan kas,
tegese kas nyantosani
setya budya pangekese dur angkara

Ilmu Pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan belajar sungguh-sungguh,
Dengan ketekunan, keuletan dan pantang menyerah,
mampu mengatasi tantangan hidup
serta menahan nafsu angkara murka

Pertunjukan wayang kulit telah dikenal di pulau Jawa semenjak 1500 SM.. Semasa kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit,  wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada relief di candi-candi serta di dalam karya-karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular, dan lain-lain Epos Ramayana dan Mahabharata yang asli berasal dari India, telah diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang. Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabharata. Namun perlu dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabharata Indonesia dengan India sudah berubah alur ceritanya.   Ramayana dan Mahabharata versi India ceritanya berbeda satu dengan lainnya sedangkan di Indonesia ceritanya menjadi satu kesatuan.  Yang sangat menonjol perbedaanya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu, lebih-lebih setelah masuknya agama Islam, diolah sedemikian rupa sehingga terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia.

Di Indonesia walaupun cerita Ramayana dan Mahabharata sama-sama berkembang dalam pewayangan, tetapi Mahabharata digarap lebih tuntas oleh para budayawan dan pujangga kita.  Berbagai lakon carangan dan sempalan, kebanyakan mengambil Mahabharata sebagai inti cerita.

Masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.  Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan baik secara bentuk dan cara pergelaran wayang purwa maupun isi dan fungsinya.  Pada zaman Demak nilai-nilai yang dianut menyesuaikan dengan zamannya. Bentuk wayang purwa yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief  candi-candi distilir menjadi bentuk imajinatif  seperti wayang sekarang.  Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir atau layar, blencong atau lampu, debog yaitu pohon pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.

Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang bergeser dari ritual agama Hindu menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa.  Ternyata wayang yang telah diperbaharui konstektual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat. Wayang purwa menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak.

Perkembangan wayang purwa semakin berkembang pada era kerajaan-kerajaan Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali pujangga-pujanga yang menulis tentang wayang, dan menciptakan wayang-wayang baru.  Para seniman wayang purwa banyak membuat kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang purwa.  Begitu juga para seniman dalang semakin profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak henti-hentinya terus mengembangkan seni tradisional wayang purwa ini.  Dengan upaya yang tak kunjung henti, membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan.  Wayang menjadi seni yang bermutu tinggi dengan sebutan ‘adiluhung’.  Wayang terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup.  Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.

Wayang bukan lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau “shadow play”, melainkan sebagai ‘wewayangane ngaurip’  yaitu bayangan hidup manusia.  Dalam suatu pertunjukan wayang dapat dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati.  Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah.  Dari pertunjukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan keridhoan Illahi.  Wayang juga secara nyata menggambarkan konsepsi hidup ‘sangkan paraning dumadi’, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.

Perkembangan pertunjukan wayang dewasa ini menunjukan peningkatan kuantitas kegiatan pewayangan yang luar biasa.  Kondisi ini dapat dikatakan zaman kebangkitan wayang.  Hal ini dapat  dilihat banyaknya berbagai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan wayang purwa, tumbuhnya dalang-dalang baru, berkembangnya  fungsi wayang, seiring dengan perkembangan budaya dan teknologi. Kreasi dan inovasi berbagai jenis wayang baru yang terinspirasi dari wayang purwa, banyak  bermunculan memperkaya khasanah seni pewayangan Indonesia. Misalnya Wayang Sandosa, Wayang Ukur dll.
JAMUS KALIMASADA

KALIMASADA, JAMUS, dalam pewayangan di Indonesia merupakan jimat atau aji-aji yang dimiliki oleh Yudistira alias Puntadewa. Pada mulanya Jamus Kalimasada adalah seorang raja raksasa yang amat sakti bernama Prabu Kalimantara. Raja dari negeri Nuswantara ***) ini menyerbu Kahyangan Suralaya karena lamarannya terhadap Dewi Irim-irim ditolak para dewa. Menghadapi serbuan ini para dewa kewalahan, lalu minta bantuan Bambang Manumayasa. Sebelumnya, Batara Endra membekali Bambang Manumayasa dengan anak panah sakti bernama  Sarutama. Dengan senjata pamungkas itu Bambang Manumayasa akhirnya dapat membunuh Prabu Kalimantara. Namun, begitu mati, raja raksasa itu langsung berubah ujud menjadi Jamus Kalimasada.

Dalam pewayangan – yakni pada Wayang Kulit Purwa dan Wayang Orang, Jamus Kalimasada dilukiskan berbentuk secarik kertas. Dalam Baratayuda, ketika Puntadewa berhadapan dengan Prabu Salya, Jamus Kalimasada digunakan sebagai senjata.

Dengan mata terpejam Puntadewa melemparkan Jamus Kalimasada ke arah Prabu Salya. Ternyata begitu lepas dari tangan Puntadewa, Jamus Kalimasada berubah ujud menjadi senjata Bajra, yakni semacam tombak pendek berlingir enam yang langsung menembus dada Prabu Salya.

Anak panah sakti Sarutama akhirnya diwarisi Arjuna.

Ada versi lain mengenai riwayat Jamus Kalimasada. Versi lain tersebut mengisahkan  sebagai berikut:

CATATAN KAKI = ***) Sebagian dalang menyebutnya Kerajaan Tunggulwesi, bukan Nuswantara, sementara sebagian buku pedalangan menyebutkan nama kerajaan itu adalah Nusakencana

Setelah berhasil mempersunting Dewi Mumpuni, Bambang Nagatatmala kemudian menjadi raja di Renggapura. Nagatatmala, putra Sang Hyang Antaboga, kemudian mendapat anak yang diberi nama Anantawirya alias Antawirya, alias Nagapustaka. Anantawirya kawin dengan Dewi Rukmawati yang berujud burung. Ketika keduanya memadu kasih, suatu keajaiban terjadi: kedua makhluk itu berubah ujud menjadi sinar yang menyatu, menggumpal menjadi Pustaka Jamus.

Kelak, Pustaka Jamus menjadi pusaka Kerajaan Amarta dengan nama Serat Kali Maha Usada, yang lama kelamaan menjadi Kalimasada. Sejak zaman Kerajaan Demak, pusaka itu diartikan sebagai Kalimah Sahadat.

Dalam Baratayuda, pada episode yang menceritakan gugurnya Prabu Salya, di pewayangan disebutkan bahwa raja Mandraka itu gugur ketika berhadapan dengan Yudistira yang membawa Jamus Kalimasada. Namun, dalam Kitab Mahabarata, pada peperangan itu Yudistira bersenjata panah dan pedang. Soal Jamus Kalimasada sama sekali tidak disebut.

Latar Belakang Sejarah Wayang Yogyakarta

Pada masa Kraton Kasunanan Surakarta diperintah Sri Susuhunan Paku Buwana II tahun 1755, berdirilah Kasultanan Yogyakarta sebagai pecahan  dari Kraton Kasunanan Surakarta dengan Raja Sri Sultan Hamengku Buwono I (Hasil Perjanjian Giyanti 1755). Sejak saat itulah lahir wayang gagrak Yogyakarta. Dengan berdirinya pemerintahan dan tata-wilayah baru tersebut  dirasakan perlunya suatu bentuk seni budaya baru dan nilai-nilai tersendiri sebagai identitasnya. Maka dibuatlah wayang gagrak Yogyakarta yang mengacu pada gagrak Kedu, yang didalam perkembangannya kemudian disertai percepatan (akselarasi) yang cukup berarti, sehingga kira-kira akhir abad ke 19 bentuk wayang gagrak Yogyakarta ini sudah seimbang dengan bentuk wayang gagrak surakarta.

Perbedaan wayang Gaya Yogyakarta dengan daerah lain

Yang membedakan wayang gaya Yogyakarta dengan gaya lain khususnya dengan gaya Surakarta antara lain adalah :

Untuk Gaya Yogyakarta, postur tubuhnya lebih gemuk, gaya Surakarta lebih ramping.
Wayang Yogyakarta menunjukkan dalam posisi bergerak, hal ini terlihat dalam posisi telapak kakinya yang belakang agak berjinjit, seolah-olah akan berjalan gaya Surakarta statis.

OLEH : DJOEMIRAN RA

Pendahuluan

Tentang istilah “Seni Pedalangan Jawa Timuran “
Apabila orang mempermasalahkan tentang istilah “Seni Pedalangan Jawa Timuran, maka pembicaraannya harus berangkat dari apa yang disebut “Kesenian Jawa Timur”. “Kesenian Jawa Timuran” adalah suatu bentuk Kesenian tradisional yang hidup dalam  lingkung etnis seni budaya daerah, seturut dengan selera masyarakat Jawa Timur”.Tentang istilah “ Jawa Timur “ merupakan istilah yang sebenarnya belum lama muncul di Daerah Jawa Timur itu sendiri, yaitu sejak ikut sertanya Pemerintah daerah Jawa Timur, Khususnya Kantor Bidang Kesenian Propinsi Jawa Timur bersama-sama para seniman tergelitik untuk menggali kesenian tradisional di daerah ini dalam rangka pelestarian Kebudayaan daerahnya. Kemunculan peristilahan tersebut sebenarnya bukan merupakan perumusan yang konseptual, melainkan hanya karena suatu tujuan kepada kemudahan dan pemahaman arti, secara spontanitas. Meskipun demikian agaknya oleh Kantor Bidang Kesenian Propinsi Jawa Timur pun disetujui juga. Berdasarkan hal tersebut di atas, tentunya cabang-cabang Seni yang berciri khas kedaerahan yang searah dengan selera masyarakat Jawa Timur, otomatis akan diistilahkan dengan sebutan “ Jawa Timuran “, misalnya :

Cabang Seni Tari akan disebut Tari Jawa Timuran.

Cabang Seni Karawitan disebut Karawitan Jawa Timuran.

Cabanag Seni Tembang Macapat akan disebut Macapat Jawa Timuran.

Dengan demikian cabang seni Pedalangan pun sudah selayaknya apabila mendapat sebutan “Seni Pedalngan Jawa Timuran”. Wayangnya pun disebut “wayang Jawa Timuran”. Tentang istilah yang digunakan untuk menyebut “Seni Pedalangan”daerah Jawa Timur, sebenarnya di Surabaya khususnya, telah memiliki istilah yang telah lama popular, yaitu dengan penyebutan “Wayang Jek Dong”, suatu istilah yang bersumber dari bunyi kepyak (=Jeg) yang berpadu dengan bunyi kendhang bersama Gong Gedhe. Ada lagi yang menyebut wayang dakduan bunyi kendhang dengan bunyi gong besar, yang terjadi ketika sang dalang melakukan “kabrukan tangan (berantem)” di awal adegan perangan. Namun istilah tersebut tak bisa  merata di seluruh kawasan ethnis Jawa Timuran ( di luar kota Surabaya ). Mengapa? Sebab sebutan tadi timbul bukan dari para seniman dalang itu sendiri. Justru bagi dalang yang lebih tua, mendengar sebutan wayang jek-dong atau dak dong merasa direndahkan (diejek).Dimungkinkan istilah lama itu timbul dari suara penonton, yang tentunya mereka tanpa memikirkan kaidah-kaidah seni ( asal ngomong/asal ngarani ). Untuk itu para dalang menyatakan ketidak setujuannya, sebab memang mereka tidak pernah memberikan sebutan itu, dan lagi dari generasi tua (leluhur) belum pernah ada yang mewariskannya. Maka begitu mendengar istilah “Kesenian Jawa Timuran”,mereka berangsur-angsur tanpa konsep menyebut Pedalangannya menjadi “Seni Pedalangan Jawa Timuran” itulah yang digunakan sebagai komunikasi seni antara seniman dengan seniman (dalang dengan dalang), baik secara individu maupun kebersamaan dalam forum-forum rapat ataupun diskusi. Begitu pula tentang apa arti peristilahan tersebut seniman dan masyarakat telah dapat memahaminya.

Selanjutnya Seni Pedalangan Jawa Timuran/Wayang Jawa Timuran itu sendiri, apabila ditinjau secara garis besar, mengenai bahan, peralatan, penampilannya secara fungsional tidak berbeda dengan Seni Pedalangan versi daerah lain (Bandung,Banyumas, Yogya, Solo dan Bali). Namun secara penelitian detail perbedaan-perbedaan itu pasti ada, yang tentunya terletak pada gaya penampilan yang berselerakan kedaerahan. Justru “selera daerah” inilah yang akan menjadi topik pembicaraan dalam forum diskusi (sarasehan) kali ini. Dan semoga saja dengan istilah dan selera kedaerahan inilah dapat terangkat ke atas lebih tinggi lagi, sehingga akan semakin kaya seni budaya di negeri Indonesia tercinta ini.

Kehidupan Seni Pedalangan Jawa Timuran.
Seni Pedalangan Jawa Timuran atau yang sering disebut Wayang Jawa Timuran, pada masa sekarang ini memang boleh dikata tidak hidup subur. Ia hidup dalam kawasan ethnis seni budaya daerah Jawa Timuran, di antaranya di wilayah kabupaten Jombang, Mojokerto, Malang Pasuruan, Sidoardjo, Gresik, Lamongan dan di pinggiran kota Surabaya. Ini pun sebagian besar berada di desa-desa, bahkan ada yang bertempat di pegunungan. Melihat daerah propinsi Jawa Timur yang begitu luas dan jumlah penduduk yang sangat  padat itu, berarti kehidupan seni Pedalangan Jawa Timuran tersebut hanya berada dalam wilayah yang sangat sempit. Dan ini berarti juga bahwa jumlah kesenian Pedalangan Jawa Timuran tidak banyak jumlahnya. Sedang arus kesenian dari daerah lain mengalir ke Jawa Timur dengan sangat derasnya, termasuk seni Pedalangannya (Solo, Yogya). Demikian pula seni budaya dari negara lain pun tidak ketinggalan hadir di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur begitu cepat dan mudah berkembang.
Dengan masuknya seni Budaya dari luar tersebut sudah tentu akan berpengaruh  besar terhadap masyarakat untuk tidak mencintai seni budaya daerah setempat. Dalam hal ini terutama kesenian daerah Jawa Timur dengan mudah akan tersingkir minggir, atau setidak-tidaknya akan menghambat kesenian daerah setempat di dalam pelestarian berikut pengembangannya.

Atas dasar pengaruh-pengaruh sepertri tersebut diatas, maka tidak sedikit orang menyatakan bahwa hal  itulah yang akan mempercepat proses kemunduran  sementara orang mengkhawatirkan terhadap kepunahannya, bila tidak ada usaha-usaha pembinaan dari  pihak yang berwenang  atau yang merasa handarbeni. Hanya usaha pembinaan itulah yang diharapkan oleh para seniman  dalang Jawatimuran, yang sebagian besar terjadi dari rakyat cilik.

Namun rupa-rupanya pembinaan yang diharapkan itupun masih juga langka, sehingga seni wayang Jawa Timuran  tersebut dalam kehidupan seolah-olah hanya bisa berjalan dengan sendirinya, tanpa pengayoman dari siapapun.

Instansi Pemerintah  di Jawa Timur yang setiap saat mengadakan suatu pergelaran wayang Kulit purwa gaya Jawa Timuran adalah baru RRI stasiun  Surabaya saja. Ini pun disebabkan  oleh suatu tugas wajib yang harus dilakukan RRI dalam rangka mengisi siaran kesenian daerah, yang hanya diperuntukkan bagi pendengaran  masyarakat Jawa Timuran.

Pergelaran-pergelaran yang pengadaannya secara rutin itu patut kita junjung tinggi, namun hal ini belum merupakan suatu  pelestarian, sebab sesuai pertunjukan tanpa ada bekas-bekasnya. Tak ada lagi pembicaraan, perenungan ataupun permasalahan apa-apa, lebih-lebih sampai pada pembinaan. Sedang di Taman Budaya sendiri sejak masih bernama kantor Pembinaan Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur sampai sekarang.  Meskipun masih terdapat kursus pedalangan dengan fasilitas yang lengkap, namun ini berupa kursus pedalangan gaya Surakarta.

Kira-kira tahun 1970 Pemerintah Kota Madya Surabaya pernah juga mengadakan suatu pesta kesenian Wayang Kulit purwa yang diselenggarakan di tiap kecamatan tetapi hal tersebut mayoritas Pedalangan gaya Surakarta.

Jumlah dalang Jawa Timuran  yang memiliki reputasi hanya bisa dihitung dengan jari saja, dan lagi mereka semua itu tergolong tua. Demikian sekilas gambaran keadaan seni pedalangan Jawa Timuran pada masa-masa Orde Baru ini. N

Daftar Dalang Jawatimuran

Suwoto (Porong)
Cung wartanu (Mojosari, Mojokerto)
Wasis (Trowulan, Mojokerto)
Suwedi (Kriyan, Sidoharjo)
Hernowo (Mojosari, Mojokerto)
Kadir Sunyoto (Gunung Kawi Malang)
Subroto (lamongan)
Suleman (Gempol,, Pasuruan)

Ciri Wayang Jawatimuran

Pada garis besarnya pertunjukan wayang jawa Timuran masih taat asas pada 11 unsur pertunjukan wayang seperti konvensi pertunjukan wayang di Jaawa Tengah. Kesebelas unsure dimaksudkan adalah :

Sabetan
Janturan
Carios/Kandha/carita
Suluk (mood song)
Tembang/sekar
Ginem, pocapan/antawecana
Dhodhogan
Kepyakan, kecrekan
Gending
Gerong atau koor pria
Sindenan

Ada enam ciri khas

Iringan musik gamelan disajikan dalam empat pathet yakni pathet sepuluh, pathet wolu, pathet sanga dan pathet serang.
Se-analog dengan fungsi iringan musik gamelan, fungsi kendang dan kecrek sebagai pengatur irama gending amat dominan.Maka wayang Jawa Timuran juga disebut wayang cekdong (anomatope bunyi kecrek dan dong bunyikendang). Konon istilah ini dilansir oleh dalang terkenal Ki Nartosabdo. Kultur waayang Jawa Timuran dipilah dalam beberapa subkultur yang lebih khas,mengacu ke estetika etnik (keindahan tradisi lokal) yakni subkultur Mojokertoan, Jombangan, Surabayan, Pasuruhan dan Malangan.
Konvensi pedalangan Jawa Timuran hanya menyajikan dua panakawan yakni Semar dan Bagong. Konvensi ini taat pada cerita relief candi Jago Tumpang cerita Kunjarakarna, punakawan hanya dua Semar dan Bagong. Dalam seni tradisional yang lain, punakawan juga dua orang yakni Bancak dan Doyok atau cerita Damarwulan hanya dua yakni Sabdopalon dan Naya Genggong.
Dalang Jawa Timuran tidak menyajikan adegan Gara-Gara secara khusus yakni munculnya Semar, Gareng,Petruk dan Bagong sesudah badayoni tengah malam. Kemunculan punakawan dan adegan lawak disesuaikan dengan alur cerita atau lakon yang dipentaskan.
Bahasa dan susastra pedalangan Jawa Timuran amat dominan didukung oleh bahasa Jawa dan dialek lokal Jawa Timuran. Maka muncullah bentuk sapaan Jawa Timuran Misalnya Arek-arek, rika, reyang.
Pada awal pertunjukan ki dalang mengucapkan suluk Pelungan. Suluk Pelungan terkait dengan doa penutup pada adegan tancep yang diucapkan ki dalang yang isinya
ki dalang memperoleh berkah dan keselamatan dalam menggelar kisah kehidupan para leluhur
pemilik hajat semoga dikabulkan permohonannya, niat yang suci/tulus dalam selamatan tersebut.
Para pendukung pertunjukan wayang (para pengrawit, biyada, dan sinoman) serta semua penonton selalu rahayu, selamat sesudah pementasan tersebut berakhir.

Wayang Kulit Cirebon, hidup dan berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Cirebon yang dibawa para Wali. Berdasarkan sejarah (babad Cirebon), Pakeliran wayang Kulit pertama di Cirebon dilakukan oleh Sunan Panggung atau Sunan Kalijaga sebagai dalangnya diringi gamelan sekaten Cirebon. Dari pengaruh ajaran agama yang dibawa Wali Saga   itulah sehingga muncul tambahan tokoh panakawan menjadi sembilan yakni : Semar, Curis, Bitarota, Ceblok, Dawala, Cungkring, Bagong, Bagal Buntung, dan Gareng. Kehadiran sembilan panakawan ini didasarkan pada lambang Wali Sanga, hal ini disebabkan masyarakat Cirebon percaya bahwa awal  keberadaan agama Islam di Indonesia  ini karena jasa-jasa para Wali Sanga.

Dengan semakin eratnya hubungan maka antara pakeliran wayang kulit Cirebon dengan kehidupan masyarakatnya, seni lukis wayang cirebonpun ikut berkembang. Hal tersebut terjadi karena hasil seni lukis wayang tidak hanya dibutuhkan dalang sebagai alat pagelarannya, tetapi juga diminati oleh masyarakat penggemarnya untuk dipajang dan dinikmati keindahannya.

Pakeliran Wayang Cirebon sampai sekarang masih bertahan hidup walau perkembangannya sangat lamban. Kehiduan Wayang Cirebon ini tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat setempat untuk melaksanakan upacara-upacara adat antara lain:

Sedekah Bumi, dengan menampilkan lakon Bumi Loka.
Mapag sri, dengan menampilkan lakon Sri Sedana.
Barikan, dengan menampilkan lakon Barikan.
Nadran (sedekah laut) menampilkan lakon Budug Basu dll.
Pengaruh dari kondisi masyarakat yang demikian tersebut menimbulkan semakin besarnya minat masyarakat untuk mengapresiasi pakeliran wayang maupun seni lukis wayang sebagai imbasnya.
Wayang kulit Purwa gaya Surakarta berupa wayang kulit yang terbuat dari bahan Kulit kerbau. Tokoh-tokohnya adalah tokoh-tokoh yang ada pada epos Mahabharata dan Ramayana serta tokoh-tokoh lokal yang dikembangkan oleh para seniman berdasarkan pemahaman dan perkembangan filosofi, budaya dan seni pertunjukan wayang. Misalnya Wayang Gunungan, Panakawan, tokoh-tokoh wayang srambahan dll. Wayang kulit gaya Surakarta ini mempunyai kaidahnya sendiri sebagai suatu seni rupa yang bisa dibandingkan /dibedakan dengan Wayang Purwa gaya Yogyakarta atau gagrag Banyumas.

Sebagai bentuk rupa yang dianggap sebagai Masterpies dan merupakan puncak kreativitas seniman wayang gagrag Surakarta dari segi rupa berdasarkan filosofi, rasa estetika  dan teknik seni rupa adalah wayang yang berada di Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran. Yaitu Kyai Kadung, Kyai Pramukanya dan Kyai Sebet.

Seni rupa wayang kulit purwa gaya Surakarta berpusat  di daerah Surakarta, dan berkembang dengan baik di Klaten, Kartasura, Sukoharjo, Sragen dan Wonogiri.

Jumlah dalam satu kotak wayang kulit gaya Surakarta ini selengkapnya berkisar antara 300-400 buah. Bila beserta  (beserta varian/duplikasi  wandanya, termasuk ricikannya berupa setanan dan senjata).

Tidak ada ukuran yang pasti pada tinggi dan lebar tokoh-tokoh peraga Wayang Kulit Purwa. Wayang gagrak Yogyakarta, misalnya, yang jenis putren pada umumnya lebih kecil, lebih pendek, daripada gagrak Surakarta. Wayang yang satu gagrak pun, kadang kala berbeda ukurannya, tergantung siapa pembuatnya. Dalam soal ukuran ini, yang penting untuk peraga wayang yang sejenis, misalnya putren yang satu dengan putren lainnya, harus relatif sama. Jika tidak, akan tampak buruk jika disimping (dideretkan pada saat pergelaran).

Untuk Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta, ukuran wayang jenis putren rata-rata adalah 37,5 sampai 38,5 cm. Ukuran tinggi wayang jenis bambangan, rata-rata 43 sampai 44 cm. Untuk jenis gagahan seperti Bima dan Duryudana, rata-rata ukuran tingginya 56 sampai 67 cm. Sedangkan, untuk raksasa ukuran tingginya bervariasi antara 60 cm sampai 85 cm, kadang-kadang lebih. Baca juga Wanda.
Bahan dan Alat

Dalam pembuatan wayang kulit diperlukan bahan dan alat-alat sebagai berikut :

A.Bahan:
1. Kulit lembu atau kerbau.
2. Pewarna
a. Simwit.
b.Cat air
c. Tinta cina
d. Bhrom berwarna kuning atau prada.
3. Ancur.
4. Pipa plastik kecil.
5. Bambu atau tanduk.
6. Benang bewarna merah atau hitam.
B. Alat:
1. Bak air.
2. Air.
3. Gawang yang terbuat dari bambu atau kayu, papan atau triplek.
4. Paku, tali plastik atau tali rami.
5. Pisau, kapak kecil ( Bahasa Jawa; pethel ) dan gunting.
6. Bermacam-macam wayang kulit gabingan, yaitu wayang kulit yang belum
.    disungging dan belum diberi cempurit.
7. Berbagai macam jenis dan ukuran pahat.
8. Gerinda dan batu asah.
9. Dhumpal.
10. Palu kayu.
11. Amplas/ amril.
12. Kuas dan pena.
13 Palet, cangkir plastik, panci alumunium.
14. Jarum.
15. Lampu teplok.

Kegunaan bahan dan alat

Macam dan kegunaan bahan:

1.Kulit lembu atau kulit kerbau.
Kulit lembu atau kulit kerbau dipergunakan sebagai bahan baku wayang kulit

2.Pewanna.
pewarna dipergunakan untuk memberi warna atau menyungging setelah pola
wayang selesai dipahat.

3. Ancur.                                                                                                     .
Ancur dipergunakan sebagai perekat warna pada kulit agar tidak lekas luntur.
Ancur yang telah direbus sampai tua dioleskan pada wayang kulit sebelum dan
sesudah selesai disungging

4. Pipa plastik kecil.
Pipa plastik kecil dipergunakan untuk menggandeng bagian hasta, lengan dan
bahu wayang setelah selesai disungging.

5. Bambu, tanduk
Bahan tersebut dipergunakan untuk dibuat tangkai wayang atau cempurit.

6. Benang.
Benang berwarna merah atau hitam dipergunakan untuk tali mengikat cempurit.

Macam dan kegunaan alat:

1.Bak air.
Bak air dipergunakan sebagai tempat untuk merendam kulit yang kering supaya
lemas sehingga  mudah dihilangkan bulunya dan mudah direntang rata pada gawang
bambu atau gawang kayu, papan atau triplek

2 Air.
Air bersih untuk merendan kulit yang kering supaya lunak atau lemas sehingga
Mudah diretang rata dan mudah untuk dihilangkan bulunya.

3.Gawang bambu atau kayu, papan atau triplek.
Gawang yang terbuat dari bambu atau kayu, papan atau triplek dipergunakan
untuk merentang kulit agar rata.

4.Paku tali plastik atau tali rami.
Paku dipergunakan untuk memaku bagian –bagian tepi kulit pada waktu di
rentang pada gandengan papan atau triplek. Tali plastik atau tali rami dipergunakan untuk
merentang kulit pada gawang bambu atau gawang kayu.

5 Pisau, kapak kecil dan gunting.
Pisau dari kapak kecil dipergunakan untuk membersihkan bulu kulit ( Bahasa jawa
ngeruk ) dan untuk membersihkan bagian kulit dalam yang kotor.

6. Bermacam-macam bentuk wayang kulit gebingan.
Wayang kulit gebingan adalah wayang kulit yang belum disungging dan diberi
Tangkai atau campurit. Wayang tersebut untuk dijiplak bentuknya pada kulit yang
sudah selesai dikelola atau telah siap pakai. Hal tersebut dilakukan agar dalam
penggandaan bentuknya tidak berubah-rubah.

7. Bermacam-macam jenis dan ukuran pahat.
Segala macam jenis dan ukuran pahat dipergunakan untuk memahat gambar pola
Wayang kulit.

Macam dan penggunaan pahat:

7.1. Pahat penatas.
Pahat penatas adalah pahat yang bentuk mata pahatnya lurus.
Jenis pahat tersebut dipergunakan  untuk memahat atau memotong
semua gambar pola wayang kulit yang berbentuk garis lurus.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan, pahat piñatas ada enam buah yaitu:

7.1.1  Pahat peñatas nomer 1.
Pahat ini panjang mata pahatnya berukuran 1,2 Cm, dipergunakan
untuk memahat  gambar    pola wayang kulit yang berbentuk garis lurus
berukuran 1,2 Cm atau lebih

7.1.2 Pahat piñatas nomor 2.
Pahat piñatas tersebut, panjang mata pahat berukuraan 1Cm. Dipergunakan
untuk memahat gambar pola wayang kulit yang berbentuk garis lurus,
berukuran 1 Cm sampai dengan 1,2 Cm

7.1.3  Pahat peñatas nomor 3
Pahat peñatas nomor 3, panjang mata pahat 0,8 Cm.
Pahat tersebut dipergunakan untuk  memahat gambar pola wayang yang
berbentuk garis lurus, berukuran 0,8 Cm. sampai kurang dari 1 Cm.

7.1.4   Pahat peñatas nomor 4.
Pahat peñatas nomor 4, panjang mata pahat 0,6 Cm. Pahat tersebut
dipergunakan untuk memahat gambar pola wayang kulit
yang berbentuk garis lurus,  berukuran 0,6 Cm sampai dengan ukuran 0,8 Cm.

7.1.5. Pahat peñatas nomor 5.
Pahat peñatas nomor 5, panjang mata pahat 0,4 Cm.
Pahat tesebut dipergunakan untuk memahat gambar pola wayang kulit yang
berbentuk garis lurus, berukuran 0,4 Cm. Sampai dengan kurang dari 0,6 Cm.

7.1.6.  Pahat peñatas nomor 6.
Pahat peñatas nomor 6, lebar mata pahatnya 0,3 Cm.
Pahat tersebut dipergunakan untuk memahat gambar pola
wayang kulit yang berbentuk  garis lurus, berukuran 0,3 Cm sampai dengan
kurang dari 0,4 Cm .

7.2 Pahat penguku.
Pahat    penguku adalah Pat. Yang berbentuk mata pahatnya menyerupai bentuk
kuku. Pahat tersebut dipergunakan untuk memahat gambar pola wayang
yang berbentuk garis melengkung. Pahat penguku ada 6 buah, yang masing-masing
berbeda ukuran dan bentuk mata pahatnya. Bentuk kelengkungan mata pahat
penguku terkecil tidak mencapai bentuk setengah lingkaran.

Macam pahat penguku :
7.2.1. Pahat penguku nomor 1.
Pahat penguku nomor 1, disebut juga kuku ceper. Lebar mata pahatny 1,2 Cm.

7.2.2. Pahat penguku nomor 2
Bentuk mata pahat penguku nomor 2, sedikit lebih melengkung
pada mata pahat penguku nomor 1. Lebar mata pahatnya
lebih kurang 1 Cm.

7.2.3. Pahat penguku nomor 3
Bentuk mata pahat penguku nomor 3,
sedikit lebih melengkung
daripada mata pahat penguku nomor 2.
Lebar mata pahat lebih kurang  0,8 Cm.

7.2..4. Pahat penguku nomor 4.
Bentuk mata pahat penguku tersebut, sedikit lebih melengkung dari
pada mata pahat pengukur nomor 3. lebar mata pahat lebih kurang 0,6 Cm.

7.2.5.  Pahat penguku nomor 5.
Bentuk mata pahat nomor 5, juga sedikit lebih melengkung dari pada
mata pahat pengukur nomor 4. lebar mata pahat kurang 0,4 Cm.

7.2.6 Pahat penguku    nomor 6
Pahat penguku nomor enampun bentuk mata pahatnya sedikit lebih
melengkung dari pada mata pahat penguku nomor 5. Lebar mata pahat
lebih kurang 0,25 Cm

7.3. Pahat penceplik.
Bentuk mata    pahat penceplik melengkung setengah lingkaran.
Jenis pahat tersebut      dipergunakan   untuk memahat semua gambar pola
wayang yang berbentuk  garis lengkung setengah lingkaran, dan juga
dipergunakan  untuk mengambil tatal pahatan atau nyeplik Pahat penceplik
ada enam buah,yaitu.

7.3.1. Pahat penceplik nomor 1.
Pahat penceplik nomor 1,
lebar mata pahatnya 0,4 Cm.

7.3.2. Pahat penceplik nomor 2
Pahat penceplik nomor 2, lebar mata pahatnya 0,35 Cm

7.3.3. Pahat penceplik nomor 3.
Pahat penceplik nomor 3 lebar mata pahatnya 0,3 Cm.

7.3.4. Pahat penceplik nomor 4.
Pahat penceplik nomor 4, lebar mata pahatnya 0,25 Cm.

7.3.5. Pahat penceplik nomor 5.
Padat penceplik nomor 5, lebar mata pahatnya 0,2 Cm.

. 7.3.6. Pahat penceplik nomor 6.
Pahat penceplik nomor 6. lebar mata pahatnya 0.15

7.4. Pahat pembubuk.
Pahat pembubuk dipergunakan untuk memahat gambar pola wayang yang berbentuk titik.
Hasil pahatan pahat pembubuk akan membentuk lubang kecil yang berbentuk lingkaran yang disebut bubukan. Pahatan bubukan berfungsi sebagai selingan pahatan semut dulur atau semut nggremet , sehingga pahatan kelihatan lebih indah dan tidak terputus. Pahat pembubuk ada dua macam,yaitu :

7.4.1. Pahat pembubuk nomor 1
Pahat pembubuk tersebut dipergunakan untuk mengambil tatal pahatan pahat
embubuk nomor 2. Lebar kelengkungan mata pahat 0,12Cm.

7.4.2 Pahat pembubuk nomor 2.
Pahat tersebut, dipahatkan pertama kali dalam proses memahat
bentuk bubukan. Lebar kelengkungan mata pahat 0,1 Cm.
Perlu dimaklumi bahwa hasil pahatan kedua pahat
tersebut berwujud lubang kecil berbentuklingkaran yang berdiameter kurang dari 0,1 Cm.

8. Gerinda dan batu asah.
Gerinda dan batu asah dipergunakan untuk mengasah pahat yang sudah majal
supaya tajam kembali.   Permukaan batu asah dibuat mengombak, sesuai dengan bentuk
permukaan masing-masing mata pahat.

9.Dhumpal.
Dhumpaal dipergunakan sebagai alas untuk memahat kulit, terbuat dari kayu pohon sawo atau kayu pohon sambi yang dipotong selintang.
Kayu pohon sawo paling baik dibuat dhumpal, sebab :
1.serat kayu lembut.
2.Ulet dan tidak cepat rusak.
3. Tidak terlalu keras, sehingga pahat tidak cepat majal.
10.Palu kayu (Bahasa Jawa gandhen).
alu kayu dipergunakan untuk memukul pahat, juga terbuat dari kayu pohon sawo atau sambi.

11. Amril.
Amril dipergunakan untuk menghaluskan permukaan kulit sesudah selesai dipahat.

12.Kuas dan pena.
Kuas dipergunakan sebagai alat untuk mengoleskan pewarna atau sebagai alat untuk menyungging. Pena dipergunakan untuk membuat arsir dengan tinta cina. Kuas yang dipergunakan ada dua macam, yaitu :
a.Kuas yang bentuknya gepeng, dipergunakan untuk mengoleskan warna dasar atau mengoleskan ancur rebus.
b.Kuas yang bentuknya bulat, dipergunakan untuk menyungging, Jumlah dan ukuran disesuaikan dengan kebutuhan.

13.Palet, cangkir plastik, panci alumunium.
Palet dipergunakan sebagai tempat untuk mengoplos warna cat air. Untuk mengoplos simwit menggunakan cangkir plastik, atau benda lain yang dapat dipergunakan. Panci alumunium dipergunakan untuk merebus ancur.

14.Jarum.
Jarum yang dibutuhkan ada dua macam, yaitu :
a. Jarum besar tidak berlubang kelindan.
Jarum tersebut dapat dibuat dari ruji  sepeda, dengan cara salah satu ujung ruji   dibuat runcing seperti mata jarum dengan menggunakan gerinda.

b.Jarum kecil.
Jenis jarum tersebut adalah jarum yang biasa dipergunakan untuk menyulam atau menjahit dengan tangan. Jarum tersebut dipergunakan untukmemasang   benang pengikat cempurit pada wayang.
15.Lampu teplok.
Lampu teplok dipergunakan untuk memanasi bagian cempurit yang akan dibuat melengkung.
Sumber diambil dari buku : Mengenal Kerajinan Wayang Kulit. Tulisan Sumadji dan Mujiman. Pasuruhan : PT. Garoeda Buana Indah

Mengolah Kulit

Kulit yang dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan wayang kulit adalah inti kulit yang bersih, kering dan rata. Kulit yang diperoleh para pengrajin pada umumnya belum memenuhi persyaratan tersebut. Oleh sebab itu perlu dikelola terlebih dahulu :
Jenis kulit dan cara pengelolaannya adalah:
I. Kulit basah.
A. Kulit basah berbulu.
Urutan pengelolaannya :
1.  Dibasuh dengan air bersih, supaya kotorannya hilang.
2.  Bagian tepi kulit dilubangi kecil-kecil untuk tempat tali perentang.
3.  Direntang pada gawang dengan menggunakan tali plastik atau tali rami.
4.  Dijemur di tempat yang teduh (Bahasa Jawa diangin-angin).
5.  Sesudah agak kering, dihilangkan bulu dan lapisan kulit dalamnya
dengan menggunakan kapak kecil atau pisau hingga mendapatkan inti kulit.
6.  Sesudah kering, digosok dengan amril bolak-balik hingga halus.
7.  Dibasuh lagi dengan air bersih.
8.  Dijemur lagi di tempat yang teduh hingga kering
B. Kulit basah tidak berbulu.
Jenis kulit tersebut umumnya diperoleh oleh para pengrajin dari pabrik kulit. Kulit tersebut masih mengandung obat.

Cara pengelolaannya adalah :
1. Direndam di dalam air bersih, selama kurang lebih 12 jam supaya obatnya larut di dalam air.
2. Dicuci dengan air bersih.
3. Direntangkan pada papan atau triplek dengan menggunakan paku.
4. Dijemur ditempat yang teduh hingga kering.
5. Digosok dengan amril bolak-balik hingga halus.
6. Dibasuh lagi dengan air bersih.
7. Dijemur di tempat yang teduh hingga kering

II. Kulit kering.
A. Kulit kering berbulu.
Urutan pengelolaan tersebut adalah :
1. Direndam di dalam bak air bersih keurang lebih 12 jam
supaya kulit tersebut lemas sehingga mudah direntang rata pada gawang.
2. Dicuci dengan air bersih.
3. Direntang pada gawang dengan menggunakan tali plastik atau tali rami.
4.     Sesudah agak kering, bulu dan lapisan kulit dalamnya dibersihkan
(Bahasa   Jawa:dikerok) menggunakan kapak kecil atau dengan pisau,
hingga mendapatkan inti kulit.
5. Sesudah kering, digosok dengan amril hingga halus.
6. Dicuci lagi dengan air bersih.
7. Dijemur lagi ditempat yang teduh hingga kering.

B. Kulit kering tidak berbulu.
Urutan pengelolaan adalah :
1. Direndam di dalam bak air bersih, lebih kurang 12 jam, supaya lemas dan mudah direntang.
2. Dicuci dengan air bersih
3. Direntang pada papan atau triplek dengan paku

Sumber diambil dari buku : Mengenal Kerajinan Wayang Kulit. Tulisan Sumadji dan Mujiman. Pasuruhan : PT. Garoeda Buana Indah

busana
Selain dalam fungsinya untuk menciptakan keindahan rupa, Busana wayang adalah atribut yang bisa menjadi pananda derajat dan kedudukan tokoh wayang. Di dalam sistem kebudayaan Jawa ada  suatu sistem hirarki untuk menentukan udanegara, tingkat tutur  derajat dan kedudukan si pemakai. Misalnya makutha atau mahkota adalah atribut busana hiasan kepala yang hanya dikenakan oleh seorang raja atau ratu.

Banyak  nilai-nilai filosofi yang tercermin dalam busana ini yang terkait dengan sistem religi dan kepercayaan serta nilai-nilai budaya Jawa. Beberapa atribut dan busana Bima mempunyai makna simbolik yang dalam. Misalnya kampuh bima dengan motif bang bintulu,  adalah cerminan dari konsep “sedulur papat-lima pancer” yang hanya terdapat dalam sistem pemikiran kebudayaan Jawa.

Berbagai macam variasi dan ragam  busana adalah sesuatu yang unik dan kaya dari wayang. Misalnya berbagai macam bentuk sumping, kelat bahu, binggel dll.

Dari bentuk, pewarnaan dan ragam hias yang terdapat pada masing-masing busana, menampilkan suatu keindahan, kecanggihan dan daya pesona yang khas dan unik yang bisa menjadi inspirasi bagi seniman dari lintas disiplin misalnya perupa, pematung, desainer dll.
Makuta, — yang artinya mahkota, adalah jenis irah-irahan yang dikenakan oleh para raja. Makuta antara lain dikenakan oleh Prabu Kresna, Prabu Basudewa, Prabu Kresna Dwipayana, Prabu Baladewa, dan Prabu Ramawijaya. Golongan dewa dalam pewayangan yang mengenakan makuta di antaranya Batara Wisnu, Batara Bayu, Batara Brama, dan Batara Endra. Selain itu, raja kera dan raja raksasa pun, ada yang mengenakan makuta, di antaranya Prabu Dasamuka dan Prabu Sugriwa.

Topong, — sebenarnya juga semacam mahkota, tetapi tidak tinggi seperti makuta, melainkan pendek seperti setengah bulatan. Oleh karena itu, topong juga sering disebut topong makuta, atau makuta topong. Pemakai topong makuta di antaranya adalah Batara Guru, Sang Hyang Antaboga, Adipati Karna, Prabu Matswapati, Prabu Sentanu dan Prabu Dasarata.
SUMPING adalah salah satu perhiasan atau asesori pada tubuh Wayang Kulit Purwa, yakni sebagai penghias telinga. Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa, setidaknya ada tujuh macam bentuk sumping, yaitu:

Sumping Waderan, seperti yang dikenakan Yudistira, Dewi Banowati, dan Dewi Drupadi.
Sumping Kembang Kluwih, seperti pada Adipati Karna, Patih Sengkuni, Rajamala, Utara, dan Wratsangka.
Sumping Pudak Sinumpet
Sumping Surengpati
Sumping Gajah Ngoling, khusus dikenakan oleh tokoh  Bima.
Sumping Kembang Pacar
Sumping Kembang Telekan.

GELUNG WAYANG, merupakan bagian dari pengetahuan seni kriya wayang, baik Wayang Kulit Purwa, Wayang Orang, Wayang Golek Purwa, dan beberapa jenis wayang lainnya. Gelung wayang merupakan bentuk stilir dari gelung rambut atau konde, atau sanggul.
Dalam dunia seni kriya Wayang Kulit Purwa dan Wayang Orang, dikenal adanya sekitar sepuluh macam bentuk gelung wayang. Berikut ini adalah jenis-jenis gelung wayang itu.

Gelung Cupit Urang,  — sering juga diucapkan gelung supit urang atau sapit urang, adalah model gelung yang digunakan oleh Arjuna, Permadi, Pandu Dewanata, Sakri, Gatotkaca, Antareja, Laksmana, Ramawijaya sebelum menjadi raja, Suryaputra (Adipati Karna waktu muda), Nakula, Sadewa, dll. Sebagian orang menyebut gelung semacam itu dengan nama gelung kadal menek. Gelung supit urang ada yang polos, ada yang memakai jamang, dan ada pula yang memakai gruda mungkur
Gelung Keling, — adalah yang dikenakan oleh Yudistira, Yamawidura, Prabu Drupada, Gandamana, Drestarastra, Prabakesa, dll. Selain itu beberapa tokoh Selain itu beberapa tokoh wayang wanita juga bergelung keling, di antaranya adalah Dewi Drupadi. Gelung keling ada yang polos, ada yang memakai jamang, ada pula yang memakai gruda mungkur seperti yang dikenakan Patih Gandamana, patih Kerajaan Cempalaradya.
Gelung Gembel,  — kadang-kadang disebut gembelan, adalah bentuk stilir rambut ikal atau keriting. Gelung gembel antara lain dikenakan oleh Sucitra (Prabu Drupada muda), Drestajumena, Ugrasena, dan Jayadrata.
Gelung Bundel, – antara lain adalah yang terdapat pada tokoh wayang Patih Udawa, dan Pan-cawala. Jenis gelung ini pun merupakan stilirisasi dari rambut ikal.
Gelung Pogok Lungsen, — yang tidak memakai jamang, antara lain terdapat pada tokoh-tokoh  Abimanyu, Begawan Palasara, Bratasena (Bima  sewaktu muda), Begawan Mintaraga, dan Bremana – Bremani. Sedangkan gelung pogok lungsen yang memakai jamang, terdapat pada tokoh-tokoh wayang: Narayana, Narasoma, Raden Sadana, Parikesit, dan Kakrasana.
Gelung Pogok tanpa Lungsen,  — terdapat pada tokoh-tokoh wayang Lesmana Mandrakumara, Citraksa, Durmagati, Kartamarma, Duryudana (gagrak Surakarta), Prabu Salya, Prabu Gardapati. Sedangkan tokoh putri yang memakai gelung pogok tanpa lungsen, di antaranya adalah Dewi Banowati dan Sarpakenaka.
Gelung Ukel Keyongan, — kebanyakan dikenakan oleh tokoh wayang wanita, misalnya Dewi Lara Ireng, Subadra, Dewi Tara, Larasati. Gelung ukel keyongan ada yang polos, ada pula yang dihias dengan gruda mungkur.
Gelung Kembang,  — adalah gelung yang penuh dengan hiasan kembang yang distilir. Pemakai jenis gelung ini antara lain adalah Dewi Uma, istri Batara Guru.
Gelung Endel,  — memakai dua gulungan rambut, dihias dengan gruda mungkur. Pemakai jenis gelung ini antara lain adalah Dewi Sukasalya alias Dewi Raghu, ibu Ramawijaya.
Gelung Malang, — yang artinya sanggul melintang, bentuknya agak mirip dengan gelung endel, tetapi gulungan rambut yang di bawah lingkarannya terbalik dan relatif lebih besar.
Gelung Ageng,  — agak serupa dengan gelung ukel, tetapi memakai hiasan gruda mungkur berukuran besar

pola ornamen
Pola-pola ornamen seni rupa wayang kulit purwa yang dibakukan adalah dalam rangka  usaha untuk membuat bentuk tokoh sesuai dengan karakter, tuntutan cerita dan suasana pendramaan yang dikehendaki. Dalam rentang waktu yang panjang, dapat dibakukan beberapa pola dasar dari pola mata, pola hidung, pola mulut bentuk muka, warna muka, perbandingan dan ukuran tubuh sebagai suatu patokan dasar yang telah menjadi suatu konvensi yang ditaati oleh para seniman dan perupa wayang.

Dari patokan dasar tersebut seorang tokoh dikembangkan dengan variasi dengan busana dan ornemen tatahan dan bentuk-bentuk anggota tubuh yang khas, sehingga bisa mengungkapkan karakter tokoh berbagai wayang. Beberapa tokoh dituntut untuk mendukung suasana tertentu, maka sikap batin dan ekspresi wajahnya disesuaikan dengan suatu kondisi mental tertentu dengan pembuatan varian dalam bentuk berbagai wanda.
HIDUNG WAYANG, dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa, mewakili karakter tokoh wayang yang ditampilkan. Karenanya, bentuk hidung dalam pewayangan juga ada beberapa macam. Jenis bentuk hidung pada seni  kriya Wayang Kulit Purwa gaya Surakarta antara lain:

Walimiring hampir serupa dengan bentuk ujung pisau dapur, diperuntukkan bagi tokoh wayang  yang bertubuh kecil atau tokoh putri.
Bentulan mirip dengan bentuk pangot atau ujung golok. Dinamakan bentulan, karena bentuk itu menyerupai bentul atau buah soka. Tokoh wayang yang berhidung bentulan di antaranya Duryudana, Gandamana dan Kartamarma.
Pangotan, bentuknya menyerupai pangot yakni pisau peraut yang biasanya digunakan untuk mengukir kayu. Tokoh wayang yang berhidung pangotan di antaranya Indrajit dan Kangsa.
Pelokan yang menyerupai potongan biji mangga, digunakan oleh hampir semua tokoh raksasa dalam pewayangan. Misalnya, Kumbakarna, Suratimantra dan Prabu Arimba.
Bruton, bentuknya menyerupai brutu atau tempat tumbuhnya bulu ekor ayam. Bentuk hidung semacam ini dimiliki antara lain oleh Bagong dan Batara Patuk.
Sumpel, menggambarkan bentuk hidung yang melesak masuk ke dalam, sehingga tidak mempunyai tonjolan hidung, seperti bentuk hidung pada tokoh Semar dan Limbuk.
Terong glatik seperti hidung Gareng,
Cempaluk, bentuk hidung yang dimiliki Petruk.
Terong Kopek, berbentuk bulat agak menggantung, seperti yang dimiliki Buta Terong.
Nyantik Palwa atau Nyantik Prau, antara lain digunakan untuk bentuk hidung Kumbakarna, Niwatakawaca dan Batara Kala.
Keongan, yakni bentuk hidung yang menyerupai hewan siput atau keong.
Bentuk hidung wayang, yang merupakan salah satu komponen raut wajah wayang, juga digunakan untuk membantu memperkuat karakter tokoh wayang yang bersangkutan.

Hidung walimiring, misalnya, digunakan untuk menampilkan karakter tokoh wayang yang tenang dan lembut. Hidung bentulan, menggambarkan tokoh yang tegas, spontan dan kadang kala agak kasar.
Tatahan atau seni pahat dalam seni kriya wayang kulit purwa termasuk tahap penting dalam proses pembuatan sebuah boneka wayang kulit. Pekerjaan menatah wayang kulit memerlukan konsentrasi, keterampilan, dan rasa seni yang tinggi.

Perlu diketahui, tahapan-tahapan pembuatan sebuah wayang kulit meliputi penyiapan kulit yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan wayang; membuat corekan, yakni semacam sketsa bentuk gambar tokoh wayang yang akan dibuat; menatah wayang; menyungging wayang; dan yang terakhir memasang cempurit.

Tatahan peraga wayang kulit purwa dianggap baik dan berhasil bilamana menenuhi syarat tertentu. Persyaratan itu disingkat dengan akronim Mawi Serekuh, yakni Mapan, Wijang, Semu, Resik, dan Kukuh. Selain syarat itu, ada lagi yang memberi syarat hampir serupa, yakni: Padang, Wijang, Ngukel, Resik, Semu, dan Wulet.

Peralatan

Sebelum mulai bekerja, seorang penatah harus menyiapkan peralatan menatah, terutama memeriksa apakah tatah-tatah/pahat  yang diperlukan sudah cukup tajam atau belum. Ini perlu dilakukan, agar jangan sampai di tengah pekerjaannya konsentrasinya terganggu oleh adanya tatah yang tumpul, atau karena salah satu peralatannya tidak tersedia.

Adapun jenis peralatan yang diperlukan adalah:

1. Pandukan, — yakni landasan tatah yang terbuat dari kayu sambi, kayu trenggulun, atau kayu sawo. Batang kayu berdiameter sekitar 35 sampai 40 cm itu dipotong melintang. Pandukan yang telah terlalu lama digunakan akan bopeng-bopeng sehingga permu-kaanya tidak rata, dapat menggangu pekerjaan.

2. Tindih, — pemberat berupa logam seberat sekitar 2,5 kilogram. Biasanya terbuat dari kuningan. Namun, yang dari besi pun boleh. Penggunaan tindih terbuat dari timbal (timah hitam) tidak dianjurkan, karena sesungguhnya logam itu bisa meracuni tubuh manusia.
Tindih gunanya untuk menekan atau memberati kulit yang sedang ditatah. sehingga kulit itu tidak menggeser kesana kemari bila sedang dikerjakan.

3. Tatah, — pahat paling sedikit harus tersedia 10 macam. Tatah ini harus dipelihara dengan baik, karena merupakan alat terpenting dalam proses pekerjaan. Pemeliharaannya, antara lain melumuri atau melapisi permukaannya yang tajam dengan malam batik, serta menyimpannya di tempat yang kering.
Namun, dari belasan jenis tatah itu, pada dasarnya dapat dibagi atas dua golongan besar, yakni tatah lantas atau tatah lugas yang mata tatahnya berupa garis lurus, dan tatah kuku yang mata tatahnya berupa lengkungan. Selain itu ada pula yang disebut tatah wali yang bentuknya beda dibandingkan  bentuk tatah lainnya.

4. Ganden, — semacam palu besar terbuat dari kayu asem atau sawo. Ganden yang telah terlalu lama digunakan, akan rusak permukaan yang digunakan sebagai pemukul tatah. Bila ini terjadi, bia-sanya bagian yang rusak itu dipotong, lalu dihaluskan lagi. Namun, jika rusaknya telah parah, diganti dengan ganden baru.

Selain peralatan pokok di atas, ada beberapa peralatan tambahan berupa jangka, paku corekan, pensil jenis 2 H, mistar atau penggaris, penghapus, batu asahan, dll.
Tatahan atau seni pahat dalam seni kriya wayang kulit purwa termasuk tahap penting dalam proses pembuatan sebuah boneka wayang kulit. Pekerjaan menatah wayang kulit memerlukan konsentrasi, keterampilan, dan rasa seni yang tinggi.

Perlu diketahui, tahapan-tahapan pembuatan sebuah wayang kulit meliputi penyiapan kulit yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan wayang; membuat corekan, yakni semacam sketsa bentuk gambar tokoh wayang yang akan dibuat; menatah wayang; menyungging wayang; dan yang terakhir memasang cempurit.

Tatahan peraga wayang kulit purwa dianggap baik dan berhasil bilamana menenuhi syarat tertentu. Persyaratan itu disingkat dengan akronim Mawi Serekuh, yakni Mapan, Wijang, Semu, Resik, dan Kukuh. Selain syarat itu, ada lagi yang memberi syarat hampir serupa, yakni: Padang, Wijang, Ngukel, Resik, Semu, dan Wulet.

Peralatan

Sebelum mulai bekerja, seorang penatah harus menyiapkan peralatan menatah, terutama memeriksa apakah tatah-tatah/pahat  yang diperlukan sudah cukup tajam atau belum. Ini perlu dilakukan, agar jangan sampai di tengah pekerjaannya konsentrasinya terganggu oleh adanya tatah yang tumpul, atau karena salah satu peralatannya tidak tersedia.

Adapun jenis peralatan yang diperlukan adalah:

1. Pandukan, — yakni landasan tatah yang terbuat dari kayu sambi, kayu trenggulun, atau kayu sawo. Batang kayu berdiameter sekitar 35 sampai 40 cm itu dipotong melintang. Pandukan yang telah terlalu lama digunakan akan bopeng-bopeng sehingga permu-kaanya tidak rata, dapat menggangu pekerjaan.

2. Tindih, — pemberat berupa logam seberat sekitar 2,5 kilogram. Biasanya terbuat dari kuningan. Namun, yang dari besi pun boleh. Penggunaan tindih terbuat dari timbal (timah hitam) tidak dianjurkan, karena sesungguhnya logam itu bisa meracuni tubuh manusia.
Tindih gunanya untuk menekan atau memberati kulit yang sedang ditatah. sehingga kulit itu tidak menggeser kesana kemari bila sedang dikerjakan.

3. Tatah, — pahat paling sedikit harus tersedia 10 macam. Tatah ini harus dipelihara dengan baik, karena merupakan alat terpenting dalam proses pekerjaan. Pemeliharaannya, antara lain melumuri atau melapisi permukaannya yang tajam dengan malam batik, serta menyimpannya di tempat yang kering.
Namun, dari belasan jenis tatah itu, pada dasarnya dapat dibagi atas dua golongan besar, yakni tatah lantas atau tatah lugas yang mata tatahnya berupa garis lurus, dan tatah kuku yang mata tatahnya berupa lengkungan. Selain itu ada pula yang disebut tatah wali yang bentuknya beda dibandingkan  bentuk tatah lainnya.

4. Ganden, — semacam palu besar terbuat dari kayu asem atau sawo. Ganden yang telah terlalu lama digunakan, akan rusak permukaan yang digunakan sebagai pemukul tatah. Bila ini terjadi, bia-sanya bagian yang rusak itu dipotong, lalu dihaluskan lagi. Namun, jika rusaknya telah parah, diganti dengan ganden baru.

Selain peralatan pokok di atas, ada beberapa peralatan tambahan berupa jangka, paku corekan, pensil jenis 2 H, mistar atau penggaris, penghapus, batu asahan, dll.
Tatahan Bubukan, — berupa lubang-lubang kecil berderet, yang digunakan un-tuk membuat kesan gam-baran garis. Biasanya tatahan bubukan diseling dengan tatahan tratasan. Tatahan ber-seling antara tratasan dengan bubukan ini juga disebut ta-tahan lajuran atau tatahan lajur saja.
Tatahan Mas-masan, — bentuknya berupa deretan selang-seling antara titik dan ko-ma, yang biasanya digunakan untuk mengerjakan bagian uncal kencana, sumping, gruda mungkur, kalung, dan jamang.
Menyerupai bunga seruni. Umumnya jarang dipakai utuh, lebih sering diseling dengan tatahan gubahan.
Tatahan Intan-intan, — biasanya digunakan untuk ‘mengisi’ bagian sumping, ber-selang-seling dengan tatahan kawatan. Bentuk tatahan ini, yang juga disebut tatahan intan-intanan, seperti bunga mekar, tetapi cuma separuh.
Patra artinya daun. Motif menyerupai daun ini biasanya digunakan untuk tatahan pecahan praba atau gunungan.Bentuk seritan atau sisir ini adalah motif  tatahan untuk ikal rambut, jenggot, bodholan, sanggul dll.
sembuliyan, Menirukan bentuk sonder atau wiru.
Tatahan Bubuk Iring, atau Buk Iring — berupa lubang-lubang yang mem-bentuk deretan seperti huruf U. Biasanya tatahan ini digunakan untuk mengerjakan bagian wayang yang disebut ulur-ulur dan uncal kencana. Tatahan ini juga sering disebut bubuk ring atau bubukan iring.
Tatahan Kawatan, — yang juga disebut tatahan gubahan biasanya digunakan untuk ‘mengisi’ sumping, bagian praba, dan gruda mungkur.
Tatahan Sumbulan, — yang biasanya dikombina-sikan dengan tatahan mas-masan, digunakan untuk mengerjakan bagian kalung, jamang, dlsb.Tatahan Trentenan/Untu Walang, berupa garis-garis terputus. Tatahan ini lebih lembut da-ripada hasil tatahan tratasan. Alat yang digunakan untuk membuat tatahan untu wa-lang adalah tatah trentenan. Di daerah Yogyakarta dan se-kitarnya, tatahan untu walang disebut tatahan semut ulur.
Di samping motif dasar tersebut terdapat pula motif pahatan berupa kombinasi dan variasi antara beberapa motif dasar untuk saling mengisi dengan varian yang tidak terbatas.

Misalnya : Tatahan bubuk manis, Bubuk manis pipil, Intenan pipil, Mas-masan berisi bubuk manis, Sumbulan tratasan berisi bubuk manis, Tatahan gubahan berseling srunen dll,

wanda
Dalam keperluannya sebagai boneka untuk mendukung pertunjukan, wayang sebagai seni rupa hadir dengan varian-varian wayang dalam berbagai suasana (mood) tertentu. Beberapa wayang baku seperti Kresna, Arjuna, Baladewa, Dasamuka dalam kaitannya dengan  jalan cerita dihadirkan dalam berbagai suasana pendramaan yang berbeda. Misalnya Kresna ketika di istana sedang memimpin sidang sebagai raja yang agung, akan berbeda tingkat emosional dan suasana batinnya ketika memimpin perang Bharatayuda di medan Kurusetra. Hal itu dibedakan dengan varian wanda. Wanda Kresna akan sangat berbeda antara wanda rondon ( dalam suasana batin dan kualitas mental yang agung berwibawa) dengan wanda botoh (diplomatik, ahli stategi, cerdik, licik).

Dari segi rupa,  untuk membentuk  berbagai  wanda wayang dilakukan dengan merubah gestur kapangan ‘postur dan proporsi tubuh,’ tunduk dan tengadahnya muka, bedhahan raut muka, ulat-ulatan ‘mimik’  dan sunggingannya.

Dalam situasi perang maka dibutuhkan kualitas wayang yang serba terampil dan galak. Misalnya untuk Gatutkaca dalam kondisi marah dan perang diciptakan wanda thathit atau kilat. Untuk mendukung suasana kemarahan dan karakter Baladewa yang temperamental dibuatlah wanda Geger dll.

Bagi yang tidak ahli dalam wayang sepintas akan menganggap sama seorang tokoh, walaupun dibandingkan langsung dua wayang yang wandanya berbeda. Misalnya Baladewa geger dan wanda rangkung. Namun bagi yang telah mencapai tataran  rasa dan estetika rupa yang dalam, terutama bagi seorang dalang  ketika memegang tokoh Baladewa  yang berwanda geger,  seorang dalang akan segera terinspirasi untuk menggerakkan/menghidupkan wayang tersebut sesuai dengan wandanya. Dalang tersebut  akan menjadi temperamental/marah  seakan-akan karakter Baladewa menghanyutkan panalaran dan kesadaran ki dalang. Padahal bisa jadi tuntutan ceriteranya tidak ada adegan marah.
Wayang Bima mempunyai beberapa wanda dalam berbagai karakter dan kualitas mental. Di antaranya adalah Lindu Panon,Salah satu wanda pada wayang Bima. Wanda ini ditampilkan pada saat Bima dalam keadaan marah atau dalam situasi perang. Ciri-ciri Bima wanda Lindu Panon adalah, wajahnya tunduk, sanggulnya besar dan tinggi, lehernya agak pendek, bahu (pundak) belakang agak naik, badannya gemblengan prada, jangkahan kakinya sedang.  Lindu Bambang, Lindu Bambang nama salah satu wanda dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa untuk tokoh Wrekudara. Lindu artinya gempa, bambang artinya muda. Lindu bambang menggambarkan Bima yang tampan, rupawan (bagus) hingga kelihatan masih agak muda. Figur wayang ini dapat dipakai untuk adegan apapun (srambahan). Ciri-cirinya: muka nunduk (tumungkul), bahu belakang lebih tinggi, badan agak kurus (langsing) adeg angrong gelung kecil.

Nama yang sama juga dipakai untuk tokoh Bratasena (Bima pada waktu muda). Ciri-cirinya hampir sama dengan figur wayang Bima, hanya sanggulnya diganti gruda mungkur dengan posisi tegak.  Bima wanda lindu bambang ini dibuat oleh P. B. IV. Surakarta tahun 1753 Masehi.
Lintang. Gurnat,Lindu Bambang nama salah satu wanda dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa untuk tokoh Wrekudara. Lindu artinya gempa, bambang artinya muda. Lindu bambang menggambarkan Bima yang tampan, rupawan (bagus) hingga kelihatan masih agak muda. Figur wayang ini dapat dipakai untuk adegan apapun (srambahan). Ciri-cirinya: muka nunduk (tumungkul), bahu belakang lebih tinggi, badan agak kurus (langsing) adeg angrong gelung kecil.

Nama yang sama juga dipakai untuk tokoh Bratasena (Bima pada waktu muda). Ciri-cirinya hampir sama dengan figur wayang Bima, hanya sanggulnya diganti gruda mungkur dengan posisi tegak.  Bima wanda lindu bambang ini dibuat oleh P. B. IV. Surakarta tahun 1753 Masehi.
Gurnat  salah satu wanda dalam seni kriya Wayang Kulit purwa Gaya Surakarta untuk tokoh Bima. Kata Gurnat diambil dari nama meriem Khyai Jagurnat (pemberian Portugis) maksudnya, kekuatan sang Bima bagaikan meriem Kyai jagur yang tiada tandingannya. Ciri-ciri Wrekudara wanda gurnat  adalah: muka longok (agak kedepan), gelung sedang, bahu pajeg badan agak besar, adeg pajeg, lambung mayat (agak ndoyong/miring). leher keker. Bima wanda gurnat ini dibuat oleh P. B. IV Surakarta tahun 1753 Masehi. Mimis. Mimis salah satu wanda untuk tokoh Wrekudara. Mimis artinya  peluru landep (tajam). Bima wanda mimis ini menggambarkan Bima seorang yang cakap, cerdas dan cekatan dalam berpikir (tanggap insasmita, lebda mungkasi karya).Figur wayang ini digunakan untuk perang. Adapun ciri-cirinya: muka agak ndangak, leher longok, bahu pajeg (hamper rata), badan tegap/langsing, gelung agak kecil, adeg pajeg, badan diwarna awak-awakan (hitam). Bima wanda mimis ini dibuat oleh Panembahan Senapati Mataram,tahun Surya 1441. Jagur Jagur dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta adalah salah satu wanda bagi Bima. Dalam bahasa Jawa, jagur artinya singa.

Bima wanda Jagur digunakan oleh dalang bilamana menampilkan Bima pada adegan perang.dll.

Komentar Dinonaktifkan pada Wayang adalah Posted in Makala Campur